JAKARTA - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diharapkan menjadi motor penggerak utama pengembangan panas bumi di Indonesia.
Sebab, Indonesia memiliki cadangan panas bumi salah satu terbesar di dunia, sehingga harus dimanfaatkan secara optimal di tengah transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan.
Indonesia saat ini memiliki cadangan panas bumi sebesar 23,7 GW. Berdasarkan data ThinkGeoEnergy 2022, kapasitas terpasang pembangkit panas bumi di dunia mencapai 15.854 MW.
Indonesia dengan kapasitas pembangkit sebesar 2.276 MW merupakan negara dengan kapasitas pembangkit terbesar kedua setelah Amerika Serikat sebesar 3.722 MW. Indonesia melampaui Filipina dengan kapasitas 1.918 MW.
"Tentu keberadaan BUMN sangat kita harapkan bisa akselerasi lebih cepat pengembangan panas bumi ke depan," kata Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Harris Yahya dikutip dari Antara, Kamis 2 Juni.
Saat ini ada tiga BUMN yang mengembangkan panas bumi sebagai sumber energi yaitu PT PLN (Persero) melalui PLN Gas dan Geothermal, PT Pertamina (Persero) melalui PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), dan PT Geo Dipa Energi.
Harris menilai, PGE menjadi BUMN yang berperan paling besar dalam pengembangan panas bumi.
"Peran PGE bisa sangat krusial guna mendukung pencapaian target pemerintah,” ujarnya.
BACA JUGA:
PGE saat ini mengelola 13 Wilayah Kerja (WK) panas bumi di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi Utara dengan total pembangkit 1.877 MW terdiri atas 672 MW yang dioperasikan sendiri dan 1.205 MW dikelola melalui kontrak operasi bersama.
Kapasitas terpasang panas bumi PGE itu berkontribusi sekitar 82 persen dari total kapasitas terpasang panas bumi di Indonesia, dengan potensi emission avoidance CO2 sekitar 9,7 juta ton CO2 per tahun.
"Ke depan panas bumi memang menjadi salah satu faktor kunci penting dalam pencapaian net zero emission, tentu BUMN kita harapkan bisa mengambil peran besar di sana yang juga bisa menentukan target-target global," jelas Harris.
Senior Advisor Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Abadi Poernomo menambahkan BUMN menjadi pelopor utama dalam pengembangan panas bumi.
Namun, regulasi tetap menjadi faktor penentu. Misalnya, dengan beberapa masalah klasik yang sering membentur panas bumi, terutama soal tarif harga listrik yang dijual dari pengembang.
Hingga saat ini, tarif panas bumi dinilai masih kalah dengan PLTU batu bara yang lebih murah daripada panas bumi.
"Panas bumi tidak bisa compete dengan PLTU (saat harga batu bara di bawah 100 dolar AS per ton). Pemerintah/PLN menghendaki tarif sama dengan BPP (Biaya Pokok Produksi), di situ keekonomian panas bumi tidak masuk," jelas Abadi.
Mantan Direktur Utama PGE ini mengakui peluang panas bumi memang sangat terbuka menjadi pembangkit based load utama, setelah pemerintah berencana memensiunkan PLTU batu bara lebih dini. Tapi, semua itu kembali berpulang pada regulasi dari pemerintah.
"Setuju (panas bumi jadi momentum menggantikan PLTU), tapi itu sangat bergantung pada regulasi yang akan terbit,” ujarnya.
Jika masalah itu bisa segera ada solusinya, lanjut Abadi, PGE sebagai pionir dalam pengembangan panas bumi tentu juga lebih bisa berperan maksimal. Apalagi PGE merupakan perusahaan panas bumi negara paling tua sehingga menjadi pionir utama dalam pengembangan panas bumi nasional.
Abadi menyebutkan PGE terlihat paling masif dan agresif dalam pengembangan panas bumi karena mendapatkan dukungan kuat dari Pertamina. "Neraca PGE sangat positif, dengan level akreditisasi sangat tinggi ditambah lagi dengan mother co Pertamina, sangat mudah dalam mencari pendanaan," katanya.