Bagikan:

JAKARTA - Analis Energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna menyarankan agar pemerintah Indonesia berhati-hati dalam menaksir biaya keseluruhan Carbon Capture, Utilization and Storage (CCS/CCUS). Pasalnya, teknologi ini mengonsumsi energi dalam jumlah signifikan, yang emisinya juga perlu dihitung.

Putra mengungkapkan, di Asia Tenggara, hal ini teramat penting mengingat standar emisi yang longgar yag kemungkinan memerlukan peralatan tambahan untuk penggunaan CCUS.

"Sangat penting untuk dicatat bahwa penggunaan CCUS di pembangkit listrik akan dapat menurunkan kapasitas pembangkitan listrik, bahkan lebih dari 20-30 persen," ujarnya dalam diskusi 'Membedah Nilai Keekonomian Teknologi Penyimpanan Karbon untuk Sektor Energi' yang berlangsung secara virtual, Selasa, 26 April.

Menurutnya, peningkatan biaya listrik 6-9 sen/kWh bahkan lebih sangatlah mungkin. Meski saat ini harga baterai penyimpanan energi masih berkompetisi ketat, namun proyeksi penurunan harga di energi terbarukan dan penyimpanan listrik tampak lebih menjanjikan dibandingkan CCUS.

Lebih jauh ia menuturkan, CCUS memiliki ranting aplikasi yang sangat bervariasi, seperti untuk pemrosesan gas hingga pembangkit listrik, dan masing-masing memiliki tingkat kematangan dan biaya yang berbeda.

"Dalam penyampaian rencana yang ada, harus jelas jenis CCUS yang mana yang akan diaplikasikan karena tanpa kejelasan, hal tersebut dapat menimbulkan kerancuan pemahaman publik," bebernya.

Sementara itu biaya CCUS bervariasi mulai dari di bawah 50 dolar AS hingga lebih dari 100 dolar AS per ton karbondioksida (CO2) yang tertangkap.

Menurut Putra, selama ini ada klaim yang memunculkan kerancuan di publik bahwa biaya CCUS untuk pembangkit listrik terus turun. Padahal, klaim itu kebanyakan hanyalah berbasis studi, dan menimbulkan banyak pertanyaan menyusul penutupan proyek CCUS kelistrikan unggulan di Amerika Serikat.

Pada 2021, lanjutnya, AS menutup proyek CCUS Petra Nova di Texas dengan alasan keekonomian setelah hanya tiga tahun beroperasi. Proyek pemasangan CCUS senilai 1 miliar dolar AS tersebut telah mendapat 190 juta dolar AS bantuan dana pemerintah AS, namun tetap gagal beroperasi.

"Biaya untuk penggunaan CCUS tersebut sangat besar mengingat penggunaannya ‘hanya’ untuk PLTU batu bara berkapasitas 240 MW," kata dia.

Sementara itu Uni Eropa telah menghabiskan setidaknya 424 juta euro dengan 'kemajuan tidak seperti yang direncanakan', sebagaimana dinyatakan oleh European Court of Auditors. Sementara kebanyakan negara di Asia Tenggara kemungkinan tidak akan mampu memberikan dana publik yang besar untuk mendukung pengembangan CCUS.

Dengan biaya yang tinggi, kata dia, proyeksi perkembangan CCUS sangat mungkin akan berbeda dengan teknologi energi terbarukan lain yang dapat diproduksi dalam unit dan biaya yang lebih kecil.

"Mengembangkan dan memperbaiki secara bertahap turbin angin senilai 3 juta dolar AS hingga 4 juta dolar AS sangat mungkin akan lebih mudah dibandingkan proyek uji coba CCUS yang berbiaya ratusan juta dolar," ujar Putra.

Sementara itu kata dia, tiga pemimpin potensial proyek CCUS di Asia, yakni Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan, masih harus mengejar banyak ketertinggalan.

"Perkembangan CCUS di tiga negara ini menjadi penting, terutama menyusul cepatnya Amerika Serikat meninggalkan batu bara, dan mungkin perhatian mereka pada CCUS PLTU, yang merupakan bagian terbesar dari bauran listrik di Asia Tenggara," pungkasnya.