Bagikan:

JAKARTA - Industri oleokimia hampir tak mengalami dampak dari pandemi COVID-19. Hal ini tercermin dari sisi volume ekspor yang terus meningkat sejak 2019. Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) menargetkan volume ekspor tahun ini menyentuh angka 4,7 juta ton. Namun, ada kendala yang dihadapi, salah satunya adalah harga gas industri.

Ketua Umum Apolin Rapolo Hutabarat mengatakan bahwa volume ekspor pada 2019 adalah 3,2 juta ton dengan nilai 2,04 miliar dolar AS. Kemudian meningkat menjadi 3,77 juta ton atau senilai 2,64 miliar di 2022, dan di 2021 kembali mengalami peningkatan menjadi 4,2 juta ton atau mencapai 4,42 miliar dolar AS.

"Dari sisi industri oleochemical dengan situasi saat ini itu sangat bersyukur karena baik dari sisi volume nilai ekspor kita ini terus meningkat di tahun 2019 sampai 2021," katanya di Jakarta, dikutip Selasa, 19 April.

Di tahun 2022, kata Rapolo, Apolin menargetkan volume ekspor industri oleochemical akan mencapai 4,4 sampai 4,7 juta ton dengan nilai sekitar 4,7 miliar dolar AS.

"Mudah-mudahan bisa tercapai. Itu berdasarkan ekspektasi kinerja dua bulan lalu. Dari sisi negara tujuan utama kita masih didominasi China, yang paling besar, lalu Uni Eropa memang, lalu India, kemudian Timur Tengah dan Afrika. Itu tujuan utama ekspor kita," tuturnya.

Di tengah target ekspor yang meningkat, Rapolo mengakui ada kendala yang dihadapi oleh industri oleokimia. Pertama, harga gas industri yang tidak sesuai dengan Peraturan Presiden No. 121 Tahun 2021 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.

Beleid yang diimplementasikan pada pertengahan 2021 ini mengatur bahwa sebagian industri mendapatkan harga khas khusus senilai 6 dolar AS per MMBTU.

Rapolo mengatakan, sebanyak 90 persen dari pelaku industri oleokimia mendapat harga senilai 6 dolar AS per MMBTU. Namun, kepatuhan pemasak untuk tetap mematok tarik gas di harga 6 dolar AS per MMBTU terus turun sejak 2021.

"Baru 80 persen dari alokasi yang diberikan harga 6 dolar AS, yang 20 persennya lagi itu dikenakan tarif komersial artinya di atas harga Perpres," tuturnya.

Kedua, tuduhan dumping oleh Uni Eropa dan India akibat subsidi yang diberikan pemerintah. Pada tahun lalu, kedua pasar tersebut berkontribusi sekitar 23,07 persen dari nilai ekspor oleh kimia dan 20,47 persen dari volume ekspor.

Ekspor ke Uni Eropa pada 2021 mencapai sekitar 590.000 ton dengan nilai 710 juta dolar AS. Sedangkan ekspor ke India mencapai 270.000 ton senilai 310 juta dolar AS.

Saat ini, kata Rapolo, industri oleokimia nasional tengah menjalani investigasi dari organisasi dagang dunia atau WTO untuk menjawab tuduhan kedua pasar tersebut hingga 2024.

Lebih lanjut, Rapolo mengatakan jika nanti Indonesia dipersalahkan atau dipinalti dan dikenakan biaya atas tuduhan tersebut, maka ada potensi kehilangan untuk pasar Uni Eropa mencapai Rp6 triliun lebih. Sedangkan, potensi untuk pasar India bilamana Indonesia kalah adalah lebih kurang Rp8 triliun.

"Sehingga ini sangat mengganggu kami dari sisi bisnis," tuturnya.

Menurut Rapolo, pihaknya juga telah bekerja sama dengan beberapa pihak seperti Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian keuangan untuk membahas masalah tersebut.

"Memang mau tidak mau, kami harus minta uluran tangan dari pemerintah kiranya memberikan bantuan. Cuma saat ini masih dalam pembahasan," ucapnya.

Sekadar informasi, oleokimia adalah bahan kimia apapun yang berasal dari lemak. Contoh hasil olahan oleh kimia adalah mentega, sabun mandi, sabun cuci piring, sabun cuci tangan dan minyak goreng. Salah satu bahan baku utama dari industri oleokimia di Indonesia adalah kelapa sawit.