Bagikan:

JAKARTA - Membicarakan energi panas bumi (geothermal) sesungguhnya bukan sekedar mendiskusikan tentang kelistrikan. Ada banyak hal dari panas bumi yang bisa dimanfaatkan untuk tujuan lain.

"Paling tidak ada lima peluang bisnis yang bisa tumbuh bersama panas bumi," kata Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy dalam Webinar bertajuk "Renewable Energy Invest in Indonesia 2022" yang diselenggarakan CSIS Indonesia dan Tenggara Strategics (The Jakarta Post) pada Kamis 7 April.

Lima peluang bisnis itu adalah hidrogen hijau, pengolahan CO2 dan bahan baku hijau, ekstraksi material nano, pertanian, dan pariwisata.

"Di Eropa, pemanfaatan geothermal untuk banyak keperluan sudah sangat populer, misalnya untuk city heating," kata Ahmad.

Sebagai gambaran, menurut the European Geothermal Energy Council, kapasitas terpasang pemanas geothermal di Eropa pada 2019 telah mencapai 5,5 GWth (GigaWatts Thermal).

Ahmad optimistis, Indonesia juga bisa melakukan hal yang sama. Saat ini, kata Ahmad, PT PGE sudah memulai mengaplikasikan panas bumi untuk pertanian kentang di Garut dan Kamojang, dua wilayah di mana pembangkit panas bumi milik PT PGE beroperasi.

"Keuntungan yang diperoleh petani bisa meningkat sampai 10 kali lipat dibandingkan pertanian konvensional," katanya.

PT PGE membuat tangki berbentuk silinder dengan garis tengah 1,5 meter untuk mensterilisasi Cocopeat, media tanam untuk benih kentang, dari bakteri dan virus. Sterilisasi dilakukan dengan memanaskan tangki tersebut dengan memanfaatkan uap dari PLTP Kamojang.

"Pemanasan Cocopeat sekitar sekitar 4-5 jam," kata Zamzam Nurzaman, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Mustika Hutan, Kamojang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Menurut Zamzam, sebelumnya mereka memanaskan Cocopeat dengan drum dengan kayu atau gas.

"Proses yang sekarang lebih cepat dan jumlahnya jauh lebih besar," katanya.

Dengan drum mereka paling banyak hanya bisa memanasi dua karung (60 kg) Cocopeat, sedangkan dengan tangki PT PGE bisa sampai 20 karung (600 kg).

"Kami juga tidak perlu membayar ke PT PGE. Sebelumnya kami harus mengeluarkan biaya untuk kayu atau gas," jelasnya.

Fasilitas pemanasan ini merupakan bagian dari program tanggung jawab sosial PT PGE dengan nama Geothermal Potato (Geotato) sejak 2018 dimulai dengan ujicoba. PT PGE menyediakan dua tangki pemanas. Satu tangki khusus untuk kentang, satu lagi untuk jamur.

"Namun, kalau pas lagi kosong, kita pakai juga," kata Zamzam.

Saat ini, ada delapan petani yang bergerak di bidang usaha pembibitan kentang.  Menurut Ahmad Yuniarto, peluang pengembangan pertanian (GeoAgro Industry) di daerah sekitar pembangkit panas bumi masih terbuka lebar. PT PGE saat ini memiliki 13 wilayah kerja panas bumi.

Enam di antaranya sudah beroperasi dan dikelola sendiri dengan kapasitas 672 MW. Enam wilayah kerja tersebut adalah Kamojang dan Karaha di Jawa Barat, Sibayak (Sumatera Utara), Lumut Balai (Sumsel), Ulubelu (Lampung), dan Lahendong (Sulawesi Utara).

Selain pertanian, PT PGE juga melihat potensi yang sangat besar di sektor kepariwisataan di Wilayah Kerja Lahendong di Tomohon. Perusahaan sedang merencanakan pembangunan obyek turisme dengan konsep taman geothermal, misalnya dengan memanfaatkan sumber air panas, tour, dan untuk pendidikan tentang panas bumi.

Hidrogen hijau

Ahmad Yuniarto dalam forum tersebut juga mengemukakan bahwa pemanfaatan geothermal untuk hidrogen hijau merupakan peluang yang sangat menarik di masa depan. Di banyak negara, PLTP dipakai sebagai sumber listrik untuk memproduksi hidrogen melalui proses elektrolisis. Hidrogen ini dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Dua di antaranya adalah untuk sektor transportasi dan petrokimia.

"Hidrogen hijau akan menjadi game changer untuk mencapai dekarbonisasi," kata Ahmad.

Memang, kata Ahmad, jalan untuk menuju ke sana masih panjang.

"Kita baru di tahap awal, masih belajar bagaimana memanfaatkan hidrogen hijau untuk skala komersial," tuturnya.

Berbeda dengan sektor kelistrikan di mana PLN sudah siap membeli uap panas dari pengembang geothermal, di industri hidrogen pengembang harus membangun keseluruhan rantai nilai (value chains) untuk sampai ke konsumen akhir.

Karena itu, kata Ahmad, PGE akan mengajak semua pihak di Indonesia untuk bersama-sama mengembangkan hidrogen. Ada banyak keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan hidrogen. Selain mengurangi biaya energi dalam jumlah yang sangat besar dibandingkan dengan energi fosil, terutama ketika harga minyak mentah naik tinggi seperti saat ini, pemanfaatan hidrogen juga bisa mengurangi emisi karbon.

"Hidrogen sangat indah untuk dekarbonisasi," kata Ahmad.

Sebagai gambaran, Jepang merupakan salah satu negara yang akan mengandalkan hidrogen dalam program dekarbonisasi pada 2050. Tahun lalu, Pemerintah Jepang mengalokasikan US$3 miliar (Rp43 triliun) hanya untuk riset mengenai alat pengangkutan hidrogen skala besar. Untuk mencapai Netral Karbon pada 2050, Jepang memperkirakan akan membutuhkan 20 juta ton hidrogen setiap tahunnya.

Berbagai pemanfaatan tersebut merupakan komitmen PGE untuk terus mengembangkan panas bumi dan memastikan implementasi Environment, Social, and Governance (ESG) menjadi bagian terintegrasi dari bisnis panas bumi PGE. Penerapan aspek-aspek ESG ini merupakan upaya dalam memberikan nilai tambah serta dukungan PGE pada program pemerintah terkait pemanfaatan energi baru terbarukan yang ramah lingkungan khususnya panas bumi.

Indonesia telah mencanangkan Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat dari itu dengan menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030, dan target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025.

Komitmen PGE dalam pengembangan energi panas bumi dapat berkontribusi dalam mencapai target pembangunan berkelanjutan goals ke-7 (energi bersih dan terjangkau), goalske-8 (pekerjaan yang layak dan pengembangan ekonomi), dan goals ke-13 (penanganan perubahan iklim) pada Sustainable Development Goals (SDGs).