Bagikan:

JAKARTA - Minyak goreng hingga saat ini masih langka di pasaran. Padahal, berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan, produsen minyak sawit mentah (CPO) sudah berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, bahkan sudah mencapai 351 juta liter.

Angka tersebut bahkan jauh dari kebutuhan per bulan yang  berkisar 300 juta liter. Sehingga, bukan tidak mungkin, membuat pasar dalam negeri kebanjiran produk minyak goreng.

Lalu, apa yang menyebabkan minyak goreng masih langka?

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kelangkaan minyak goreng di pasaran lantaran intervensi pemerintah yang justru membingungkan. Contohnya untuk subsidi satu harga Rp14.000 per liter dan harga eceran tertinggi (HET).

Kementerian Perdagangan telah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng mulai 1 Februari 2022 yakni harga minyak goreng curah sebesar Rp11.500 per liter, harga minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan harga minyak goreng kemasan premium Rp14.000 per liter.

"Sekarang akhirnya jadi langka di mana-mana. Karena jika pedagang menjual stok lama dengan harga subsidi, maka dia rugi, sementara harus ada di etalase. Kemudian dia jual di atas HET takut nanti kena sidak dari satgas pangan, kena sanksi dianggap menjual di atas HET," tuturnya saat dihubungi VOI, Senin, 7 Maret.

Selain itu, kata Bhima, penyebab kelangkaan minyak goreng karena pemerintah tidak kuasai rantai distribusi. Dimana saat ini distribusi minyak goreng tidak dilakukan oleh Bulog maupun badan usaha milik negara (BUMN).

Sekadar informasi, pendistribusian minyak goreng dapat melibatkan 3 sampai 7 pelaku kegiatan perdagangan. Pola utama distribusi perdagangan minyak goreng nasional adalah produsen, distributor, grosir, pedagang eceran, toko swalayan, hingga konsumen akhir.

"Bulog tidak bermain di minyak goreng. Jadi rantai distribusinya tidak dikuasai oleh BUMN maupun pemerintah. Dari 3 sampai 7 rantai distribusi dari produsen minyak goreng sampai ke konsumen pun juga distributornya bukan dari pemerintah," katanya.

Karena itu, kata Bhima, untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng dalam jangka pendek adalah dengan memperbaiki masalah tata niaganya. Sehingga, dapat mengatasi hambatan-hambatan distribusi.

"Misalnya minyak goreng itu kan sampai 7 pemain ke level konsumen. Jadi di mana ini titik masalahnya. Kalau memang ada distributor yang bermain siapa yang bermain. Jadi ini harus ada penegakan hukum di tata niaganya, jadi memastikan," tuturnya.

"Kalau klaim pasokan aman, tapi tidak sampai ke masyarakat bawah, berartikan ada distributor yang bermain. Ini harus dilakukan penegakan hukum," kata Bhima menjelaskan.

Kurangnya pasokan minyak goreng di level ritel

Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengatakan bahwa kendala dalam kurangnya pasokan minyak goreng dalam negeri terjadi di lapangan atau di level pendistribusian produk ke ritel.

Sekretaris Ditjen perdagangan dalam negeri kemendag I G Ketut Astawa mengatakan bahwa produsen minyak sawit mentah atau CPO telah memenuhi kebijakan domestic market obligation (DMO) dengan memasok sebanyak 350 juta liter untuk kebutuhan minyak goreng dalam negeri.

Sementara, kebutuhan nasional per bulan berkisar 279 juta liter hingga 300 juta liter. Dengan pasukan CPO yang dipenuhi produsen, seharusnya membuat pasar dalam negeri kebanjiran produk minyak goreng dalam jangka waktu sebulan.

Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Ketersediaan minyak goreng masih sedikit atau langka di pasaran baik pasar modern maupun tradisional. Ketut mengakui memang terdapat temuan Satgas pangan ada oknum-oknum yang sengaja menimbun minyak goreng dan tidak mendistribusikannya ke pasaran.

Selain itu, Ketut juga mengungkapkan masih ada masyarakat yang membeli minyak goreng dalam jumlah yang lebih besar dari kebutuhan biasanya sehingga menyebabkan ketersediaan produk yang kian menipis di pasaran.