Bagikan:

MOSKOW - Bank Sentral Rusia, pada Senin, 28 Februari, secara resmi menaikkan suku bunga acuan hingga dua kali lipat sekaligus memperkenalkan beberapa kebijakan kontrol modal, sebagai kontra strategi atas beragam sanksi ekonomi yang ditujukan pada negara tersebut.

Gubernur Bank Sentral Rusia, Elvira Nabiullina, juga menyebut bahwa pihaknya kini tengah menghentikan aktivitas penjualan mata uang asing demi menjaga posisi nilai tukar rubel yang tertekan cukup parah.

"Bank sentral hari ini menaikkan suku bunga utamanya menjadi 20 persen karena adanya sanksi baru yang memicu deviasi signifikan dari nilai tukar rubel, dan membatasi pilihan bank sentral untuk menggunakan emas dan cadangan devisanya," ujar Nabiullina, dalam sebuah konferensi pers, sebagaimana dilansir oleh Reuters, Senin 28 Februari.

Sebagaimana diketahui, Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara besar lain tengah membombardir Rusia dengan serangkaian sanksi ekonomi, seiring invasi yang dilakukan negara tersebut terhadap negara tetangganya, Ukraina. Sanksi diberikan dengan harapan untuk dapat mengisolasi perekonomian Rusia, sehingga dapat menginisiasi upaya perdamaian atau gencatan senjata.

Dengan kuatnya tekanan dari luar tersebut, pihak Bank Sentral Rusia berharap langkah mendongkrak suku bunga dapat menjaga perekonomian domestik dari ancaman inflasi. "Kami harus menaikkan tarif (untuk) memberi kompensasi kepada warga atas peningkatan risiko inflasi," tutur Nabiullina.

Sebelum adanya kebijakan baru ini, mata uang rubel diketahui telah tertekan hingga mencatatkan rekor terendahnya dengan pelemahan mencapai hampir 30 persen. Namun pasca kenaikan suku bunga menjadi 20 persen, posisi rubel mampu rebound ke zona hijau. Kenaikan suku bunga menjadi 20 persen sendiri merupakan rekor level tertinggi di abad ini, dengan posisi sebelumnya masih berada di level 9,5 persen.