JAKARTA - Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) hari ini Selasa 21 Desember menggelar diskusi virtual tentang UpayaPerlindungan Kekayaan Intelektual melalui Sosialisasi Hasil Studi Dampak Pemalsuan Terhadap Perekonomian Indonesia Tahun 2020 yang diperbaharui oleh MIAP bekerjasamadengan Institute for Economic Analysis of Law & Policy Universitas Pelita Harapan (IEALP UPH).
Upaya-upaya perlindungan kekayaan intelektual secara berkesinambungan dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan kekayaan intelektual, baik melalui peraturan dan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah maupun pelaku usaha dalam melindungi produknya dari praktik-praktik pemalsuan/pembajakan serta masyarakat umum yang memahami kerugian yang disebabkan apabila menggunakan produk palsu atau ilegal.
"Seluruh upaya yang telah dilakukan oleh para pemangkukepentingan kekayaan intelektual patut diapresiasi sebagai langkah konkret dalam menegakkan perlindungan terhadap kekayaan intelektual," ungkap Justisiari P. Kusumah, MIAP Executive Director.
"Hal tersebut yang terus mendorong semangat positif dalam upaya berkelanjutan penegakan perlindungan kekayaan intelektual di Indonesia," tambah Justisiari.
MIAP secara berkala melakukan Studi Dampak Pemalsuan Terhadap Perekonomian di Indonesia lima tahun sekali. Sejak tahun 2005, MIAP melakukan studi dampak pemalsuan terhadap perekonomian Indonesia, sebagai salah satu upaya memahami bagaimana kecenderungan praktik-praktik pelanggaran kekayaan intelektual di Indonesia dan dampaknya terhadap perekonomian.
"Melalui studi ini kami berharap dapat memberikan manfaat dan gambaran bagi para pelaku usaha atau industri secara luas, sekaligus juga dapat menjadi masukan untuk menstimulasi langkah-langkah perbaikan dari semua pemangku kepentingan untuk terus bekerja sama menghadirkan ekosistem yang lebih aman bagi masyarakat," ungkap Yanne Sukmadewi, Sekretaris Jenderal MIAP.
Hasil Studi Dampak Pemalsuan Terhadap Perekonomian di Indonesia Tahun 2020 menjadi pembaharuan studi yang dilakukan oleh MIAP secara berkala. Melalui kerja sama dengan Institute for Economic Analysis of Law & Policy Universitas Pelita Harapan (IEALP UPH), studi ini mencakup delapan komoditi, yaitu: produk farmasi, kosmetik, barang dari kulit, pakaian, makanan dan minuman, pelumas dan sukuc adang otomotif, catridge, dan software di beberapa kota besar di Indonesia.
BACA JUGA:
"Menyikapi kondisi pandemi dan kemudahan mobilisasi, lebih kurang 500 responden diperoleh untuk mengisi kuesioner yang disiapkan di Jakarta dan Surabaya, serta beberapa kota lainnya," ujar Henry Soelistyo Budi, perwakilan IEALP UPH.
"Selain data dari hasil kuesioner tersebut, kami juga menggunakan data input-output tahun 2010 Badan Pusat Statistik sebagai rujukan,” tambah Henry.
Berdasarkan hasil rekapitulasi olah data, studi ini menemukan software masih menempati urutan tertinggi rentan dipalsukan hingga 84,25 persen, diikuti oleh kosmetik 50 persen, produk farmasi 40 persen, pakaian dan barang dari kulit sebesar masing-masing 38 persen, makanan dan minuman 20 persen, serta pelumas dan suku cadang otomotif sebesar 15 persen.
Data pemalsuan ini menunjukkan seberapa besar kecenderungan permintaan terhadap produk palsu/ilegal di pasar. Secara nominal, kerugian ekonomi yang disebabkan oleh peredaran produk palsu tersebut mencapai lebih dari Rp291 triliun, dengan kerugian atas pajak sebesar Rp967 miliar serta lebih dari 2 juta kesempatan kerja.
"Melalui update tersebut, MIAP mengajak seluruh pemangkukepentingan untuk tidak menyerah dalam setiap upaya yang dilakukan dalam memberantas pemalsuan," ungkap YanneSukmadewi, Sekretaris Jenderal MIAP.
"Karena hingga saatini baik pemerintah maupun pelaku usaha telah bahu-membahu mengurangi dampak yang disebabkan oleh pelanggaran terhadap kekayaan intelektual termasukperedaran barang palsu melalui tugas dan fungsinya masing-masing," lanjut Yanne.