Bagikan:

JAKARTA - Survey lembaga UNICEF bersama Gallup di 21 negara pada paruh pertama 2021 mencatat, rata-rata sekitar satu dari lima remaja dunia mengalami depresi atau kehilangan minat untuk beraktivitas. Indonesia berada di peringkat ketiga terbanyak remaja yang mengalami depresi tersebut atau sebanyak satu dari tiga remaja. Indonesia hanya terpaut tiga poin dari Kamerun, negara yang remajanya paling banyak mengalami depresi.

Seperti diketahui angka-angka tersebut adalah mewakilkan persepsi dari remaja tapi bukan diagnosa depresi menurut kesehatan profesional. Lantas apa yang menyebabkan kesehatan mental remaja berkurang?

Ada beberapa faktor yang menghambat ihwal perlindungan dan perawatan kesehatan mental remaja. Beberapa di antaranya bersifat sistemik, seperti kekurangan anggaran pemerintah, kepemimpinan, dan kurangnya koordinasi antar sektor serta pekerja terlatih.

Menurut laporan tahunan UNICEF Seringnya, kemampuan kita untuk mengatasi kesehatan mental anak terhalang oleh ketidaklaziman kita membicarakan soal itu. Para pendidik maupun orang tua atau pengasuh mungkin berjuang untuk menstimulasi anak-anak agar mengutarakan perasaannya. Namun, tak sedikit remaja yang takut atau mendapat cemooh bahkan mungkin perundungan akibat stigma yang yang timbul akibat kesalahpaman mengenai kesehatan mental.

Kegagalan untuk melihat kesehatan mental sebagai hal positif sering mencerminkan pengaruh pemikiran biomedis, di mana fokusnya adalah pada kondisi untuk didiagnosis dan diobati. "Sebaliknya, kesehatan mental perlu dipahami sebagai kontinum atau rangkaian proses. Pada setiap tahap kehidupan kita, salah satu dari kita mungkin menemukan diri kita berbeda poin pada kontinum itu," tertulis.

Setiap orang akan merasakan kesehatan mental yang positif seperti mampu untuk menikmati hidup. Tapi kita juga mungkin mengalami periode kesusahan yang serius. "Dan beberapa mungkin menderita jangka panjang dan melumpuhkan kondisi kesehatan jiwa."

Ilustrasi (Fernando/Unsplash)

Gawai dan kesehatan mental

Pandemi COVID-19 menjadikan rumah berfungsi lebih dari biasanya di mana teknologi digital berperan jauh lebih signifikan bagi remaja. Bagi banyak keluarga, mereka menyediakan gawai seperti smartphone, tablet, dan laptop untuk anak-anak mereka untuk memenuhi banyak keperluan. Misalnya untuk kepentingan sekolah, berkomunikasi dengan teman dan kerabat, selama bulan-bulan panjang penerapan pembatasan.

Meskipun ini aspek positif dari teknologi, tapi tak sedikit orang tua, guru, dan bahkan remaja itu sendiri merasakan dampak buruk digital teknologi. Terutama soal dampak sosial media dan screen time alias waktu menatap layar yang memang dapat mempengaruhi mental remaja.

Semakin anak kecanduan media sosial, ia hanya akan mementingkan diri sendiri. Kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain juga bisa menghilang.

Hal ini karena anak-anak dan remaja tersebut tidak pernah berhubungan dengan masyarakat sekitar. Pengetahuan tentang seluk beluk berkomunikasi di kehidupan nyata, seperti bahasa tubuh dan nada suara, juga menjadi berkurang.

Selain itu media sosial juga bisa berpengaruh pada perkembangan emosi remaja. Sebab perkembangan emosi tidak lepas dari interaksinya dengan lingkungan sosial. Bila lingkungan sosial yang ada di sekeliling remaja berupa lingkungan sosial yang maya, maka kemungkinan perkembangan emosi remaja cenderung tidak kuat.

Ilustrasi (Robin Worrall/Unsplash)

Pentingnya menumbuhkan minat beraktivitas

Survey UNICEF yang menyebut remaja Indonesia kehilangan minat beraktivitas tentu tak bisa dipandang sebelah mata. Sri Mawarti dalam jurnalnya yang diterbitkan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) mengatakan gerak merupakan kebutuhan dasar pada setiap makhluk hidup. Sementara di usia remaja, di masa fase perkembangan motorik, pergerakan fisik seperti olahraga lebih banyak diperlukan.

Anak yang berusia sekolah menengah berdasarkan pada tahap perkembangan gerak telah mencapai pada tahap transisional secara umum. Menurut Sri pada umur di atas 10 tahun atau usia remaja, merupakan fase potensial pengembangan kemampuan neuromuscular. Itulah mengapa salah satu minat yang perlu dipupuk sejak remaja adalah minat berolahraga.

"Apabila minat untuk beraktivitas olahraga ini telah terbangun dalam diri remaja, dan seolah-olah olahraga seperti telah menjadi menu keseharian, maka secara tidak langsung pembinaan multilateral juga telah dilaksanakan. Sports be habitually akan memiliki dampak positif diberbagai aspek, baik aspek internal (peningkatan psikomotorik dan kognitif) maupun eksternal (socioculture)," tulis Sri.

Apalagi kalau kegiatan motorik atau olahraga tersebut bisa membuahkan prestasi. Hal ini bakal meningkatkan rasa percaya diri remaja. "Prestasi pada anak remaja dapat dijadikan sebagai prestise yang membanggakan dalam dirinya." Lantas apa yang bisa menumbuhkan minat tersebut?

Cara menumbuhkan minat

Terdapat dua faktor terbesar bagaimana cara menumbuhkan minat remaja. Pertama yakni faktor keluarga.

"Keluarga sangat menentukan terhadap perkembangan individu dimasa yang akan datang dan merupakan tempat untuk menanamkan dasar-dasar kepribadian. Keluarga menurut Hurlock (1990:200) merupakan bagian paling penting dari jaringan anak, sebab anggota keluarga merupakan lingkungan pertama anak dan yang paling penting selama tahun-tahun formatif awal," tulis Sri.

Ia mencontohkan, bila kedua orang tua atau salah satu dari mereka ada yang gemar berolahraga maka mereka berharap paling tidak anak-anaknya juga gemar berolahraga. "Hal tersebut terjadi dimungkinkan dari pihak orang tua memiliki berbagai pertimbangan dan konseptual yang mendasar dari berbagai aspek yang ada."

Selain itu keharmonisan keluarga juga berperan dalam pertumbuhan minat seseorang menurut Sri. "Bila keluarga sudah tidak harmonis lagi, dan tidak ada kasih sayang, maka senmua hal di atas tidak akan dapat dicapai."

Kemudian faktor kedua penumbuh minat seseorang khususnya remaja yakni lingkungan. Lingkungan yang dimaksud yakni lingkungan sosial misal, lingkaran pertemanan di sekolah, teman di rumah, serta pergaulan lain.

"Lingkungan dapat memiliki fungsi dua arah yaitu sebagai pemacu tumbuhkembangnya minat untuk beraktivitas motorik. Dikatakan pemacu apabila pada lingkungan tersebut banyak anak-anak yang sudah mengikuti latihan olahraga, sehingga pada saat bermain mereka selalu bercerita tentang olahraga yang diikutinya. Hal ini secara tidak langsung juga akan menumbuhkan minat remaja," tulis Sri.

*Baca Informasi lain tentang MENTAL atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya