JAKARTA - Akun YouTube pasangan Adhiguna dan Sabrina ramai dibicarakan warganet karena menampilkan sejumlah video berisi perjalanan mereka menuju jenjang pernikahan. Perhatian warganet sebenarnya bukan karena prosesi pernikahannya, tapi pada pengantin wanitanya yang saat menikah berusia 16 tahun.
Dalam video episode pertamanya, Sabrina menceritakan dia menikah dengan Adhiguna pada bulan Agustus 2019 setelah mengenal suaminya pada 36 hari yang lalu. Dia menikah di usia 16 dan masih SMA sementara suaminya berusia 25 tahun.
Lantas apa saja risiko menikah muda baik secara fisik maupun psikilogi?
Menikah di usia terlalu dini atau di bawah usia 18 tahun akan memberikan dampak pada alat reproduksi. Seksolog Haekal Anshari menjelaskan, menikah sebelum berusia 20 tahun dapat meningkatkan risiko terinfeksi penyakit seksual pada perempuan.
Kondisi ini, kata dia, terjadi jika wanita tersebut menikah dengan suami yang lebih tua dan sudah pernah menikah sebelumnya atau melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan.
"Selain itu, organ reproduksi wanita yang berkembang sempurna ikut meningkatkan risiko luka vagina maupun leher rahim," kata Haekal kepada VOI lewat pesan singkat, Kamis, 14 Mei.
Pernikahan dini dengan usia mempelai wanita di bawah 18 tahun juga dapat meningkatkan risiko penularan human papillomavirus (HPV) dan risiko kanker serviks atau kanker leher rahim.
Bahaya kehamilan pada usia dini
Pernikahan berujung kehamilan pada usia dini disebut Haekal berbahaya karena berisiko komplikasi. Risiko ini, kata dia, kerap terjadi ketika proses persalinan memakan waktu yang sangat panjang bahkan butuh waktu berhari-hari.
"Kondisi ini merupakan penyebab utama kematian ibu dan bayi atau bayi tidak bisa bertahan hidup dalam seminggu pertama setelah dilahirkan," ungkap dia.
Bukan hanya saat proses persalinan saja, Haekal juga menyebut kesehatan anak dari pasangan yang menikah dini kebanyakan mengalami gangguan.
"Anak berusia di bawah lima tahun yang lahir dari ibu di bawah umur memiliki risiko lebih besar terhadap malnutrisi (gizi buruk) bahkan berdampak pada perkembangan otak serta kemampuan anak hingga dewasa kelak," ujar Haekal.
"Di Indonesia, saat ini peraturan usia minimal menikah untuk perempuan telah naik dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Perubahan peraturan didasari oleh berbagai pertimbangan, termasuk dari sisi kesehatan," imbuhnya.
Usia muda cenderung labil
Dikutip dari halodoc, pernikahan usia muda ternyata rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Sebabnya, mental mereka belum siap dalam menghadapi konflik rumah tangga.
Selain itu, perceraian juga biasanya menghantui pasangan yang menikah di usia dini dengan beragam alasan yaitu perselisihan terus menerus, perbedaan prinsip, masalah ekonnomi dan KDRT.
Beberapa waktu yang lalu, kami pernah menghubungi psikolog Rose Mini Agoes Salim untuk menanyakan soal menikah di usia muda. Rosi kami wawancarai untuk tulisan seri bertajuk 'Pernikahan Hari Ini'.
Kata dia, usia adalah faktor krusial dalam sebuah pernikahan dan ada faktor yang membuat kematangan usia amat berpengaruh pada kesiapan seseorang untuk memasuki kehidupan pernikahan.
Menurut Rose, orang yang menikah di usia muda rentan karena mental dan emosi yang labil. Kondisi tersebut sangat mungkin menyulitkan seseorang untuk beradaptasi dalam kehidupan pernikahan.
Secara umum, orang-orang yang masih tergolong muda akan kesulitan mengemban tanggung jawab pernikahan. Orang-orang muda sejatinya memerlukan proses untuk menjalani kehidupan dengan tanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Dari proses itu, barulah seseorang dapat mengemban tanggung jawab lain sebagai suami, istri, atau menantu, misalnya.
"Kalau dia terlalu muda, di mana tugas perkembangannya masih mencari identitas diri, mau seperti apa saya, gimana mau berkarier, masih sibuk lagi, ditambah peran lagi nanti setelah menikah bikin dia pusing. Sampai dia rasanya saya enggak bisa deh beradaptasi," tutur Rose Mini beberapa lalu kepada VOI.
BACA JUGA:
Ketika perceraian terjadi, stigma masyarakat terhadap status janda dan duda adalah perkara yang harus dihadapi. Bagi mereka yang bercerai di usia muda, stigma tersebut akan makin sulit dihadapi dan berpotensi membebani mereka.
Lebih rumit lagi jika pasangan itu telah dikaruniai anak. Kedua belah pihak harus berdiskusi dan membuat pertimbangan untuk melanjutkan pengasuhan anak. Dimulai dari di mana anak harus tinggal hingga persoalan lain menyangkut pembiayaan dan menentukan pendidikan, misalnya.
Persoalan ini akan amat sulit dihadapi oleh mereka yang bercerai di usia muda. Bukan tak mungkin dihadapi. Namun, kondisi mental dan emosional orang-orang di usia muda akan mempersulit proses diskusi dan pengambilan keputusan.
"Kasihan anaknya. Karena, mau enggak mau anak enggak diajak berpikir, bertukar pikiran pada waktu mau melakukan perceraian. Jadi langsung orang tua memutuskan dan anak harus menerima. Konsekuensinya, orang tua membuat anak jadi perebutan. Jadi direbutin sana-sini, kayak barang," papar Rose Mini.