JAKARTA - Rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjadikan kepesertaan Keluarga Berencana (KB) pada pria, vasektomi, sebagai syarat menerima bantuan sosial atau bansos menuai kontroversi.
Wacana tersebut dilontarkan Dedi dalam rapat koordinasi bidang kesejahteaan rakyat bertajuk "Gawe Rancage Pak Kades jeung Pak Lurah" di Pusdai Jawa Barat, Senin (28/4/2025).
Dalam rapat tesebut, Dedi mengatakan KB, terutama KB pria berupa vasektomi akan menjadi syarat untuk penerimaan bantuan sosial. Mantan Bupati Purwakarta ini bahkan mengiming-imingi insentif Rp500.000 kepada suami yang bersedia menjalani program KB vasektomi.
Hal ini dilakukan karena ia banyak menemukan keluarga prasejahtera yang memiliki banyak anak, padahal kebutuhan tidak tercukupi.
Dengan kebijakan ini, kata Dedi, distribusi bantuan dari pemerintah, seperti bansos dan beasiswa, lebih merata dan tepat sasaran.
Fatwa Haram MUI
Namun rencana Dedi Mulyadi langsung mendapat sorotan tajam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Barat menegaskan, sterilisasi pada pria atau vasektomi sangat tidak diperbolehkan atau haram dalam pandangan Islam karena dianggap sebagai tindakan pemandulan yang permanen.
"Tidak boleh bertentangan dengan syariat, pada intinya vasektomi itu haram dan itu sesuai Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV di Pesanren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat pada 2012," kata Ketua MUI Jawa Barat KH Rahmat Syafei, mengutip Antara.

Meski demikian, Rahmat menyebut vasektomi mungkin dilakukan jika ada kondisi-kondisi tertentu untuk menghindari risiko kesehatan yang serius dan tidak menyebabkan kemandulan permanen.
Vasektomi juga dimungkinkan apabila ada jaminan fungsi reproduksi seperti semula apabila diinginkan, tidak menimbulkan bahaya atau mudharat pada yang bersangkutan.
Menurut Rahmat, persyaratan KB untuk penerimaan bansos atau berbagai insentif boleh-boleh saja dilakukan, dengan tetap mengikti persyaratan yang harus dilalui terutama untuk vasektomi.
"Kalau untuk insentif tidak apa-apa, tapi yang penting tadi vasektominya (ada) kedudukan persyaratan untuk dibolehkan, itu yang harus disesuaikan," tutur Rahmat.
Tidak Boleh Ditukar Bansos
Usulan GubernurJabar Dedi Mulyadi bahwa vasektomi sebagai syarat penerima bansos mendapat sorotan dari Pengamat Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran (Unpad) Yogi Suprayogi.
Menurut Yogi, rencana Dedi soal KB vasektomi pada pria menjadi syarat penerima bansos bisa saja dikatakan tepat, namun tidak beretika.
"Tidak ada etika kebijakan, tapi boleh saja itu rasional, namun tidak ada etikanya, apalagi dengan kultur kita di Indonesia," tutur Yogi.
Selain itu Yogi menilai adanya iming-iming insentif seolah menjadi pemaksaan untuk para suami melakukan KB vasektomi.
"Terus yang siap dikasih uang Rp 500 ribu, saya pikir (seolah-olah) ada pemaksaan, itu melanggar hak asasi manusia ya," imbuhnya.

Secara sederhana, vasektomi adalah tindakan sterilisasi pada anak laki-laki dengan cara memotong atau menyumbat saluran spermatoozoa dari testis ke penis.
Dengan demikian, air mani yang keluar ketika laki-laki mengalami ejakulasi tidak lagi mengandung sel sperma.
Yogi memandang usulan vasektomi pada pria terlalu berisko, untuk itu ia mendorong Dedi Mulyadi untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut. Apalagi jika tujuan vasektomi pada pria adalah untuk megendalikan angka kelahiran dan menekan angka kemiskinan di Jabar.
Sementara itu, Komisi Naasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut bahwa kewajiban vasektomi tidak bisa dipertukarkan dengan bansos atau yang lain.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigito mengarakan, vasektomi adalah bagian dari hak asasi. Oleh karena itu, jika diwajibkan atau dipaksakan oleh pemerintahan maka berpotensi melanggar hak privasi.
"Itu juga privasi ya, vasektomi apa yang dilakukan terhadap tubuh itu bagian dari hak asasi. Jadi, sebaiknya tidak dipertukarkan dengan bantuan sosial atau hal-hal lain gitu," ujar Atnike.
BACA JUGA:
Ia menjelaskan, jangankan untuk syarat penerima bantuan sosial. Menghukum pelanggar pidana pun tidak diperbolehkan dengan hukuman yang bersifat melanggar hak privasi.
"Penghukuman saja enggak boleh, pidana dengan penghukuman badan yang seperti itu tuh sebetulnya bagian yang ditentang di dalam diskursus hak asasi," katanya.
"Apalagi itu dipertukarkan dengan bantuan sosial atau itu otoritas tubuh ya. Pemaksaan KB (Keluarga Berencana) saja itu kan pelanggaran HAM,” Atnike menyudahi.