Wacana Penambahan Masa Jabatan Presiden yang Nyaris Tak Mungkin
Presiden Joko Widodo (Foto: setkab.go.id)

Bagikan:

JAKARTA - Wacana penambahan masa jabatan presiden menghangat di publik. Wacana tersebut mencuat seiring dengan rencana amendemen terbatas UUD 1945, hanya tentang menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). 

PDI Perjuangan menjadi yang paling ingin menghidupkan kembali GBHN, sedangkan yang mewacanakan soal masa jabatan adalah Partai NasDem. Partai yang dipimpin Surya Paloh ini ingin masa jabatan presiden jadi tiga periode.

Sekretaris Fraksi Partai NasDem DPR Saan Mustofa mengatakan, wacana ini adalah usulan dari akar rumput mereka setelah bertanya evaluasi tentang Pemilu 2019 yang menyatukan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Namun, usulan ini masih dalam tahapan masukan dari masyarakat, bukan sikap resmi partai.

"Jadi misalnya gini, kalau kita punya seorang presiden yang baik, yang hebat, ternyata misalnya programnya belum selesai. Tiba-tiba masa jabatannya habis, kan sayang. Ketika berganti akan ganti kebijakan, kesinambungannya kan terhenti," kata Saan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 26 November.

PDI Perjuangan selaku partai yang memperjuangkan amendemen terbatas UUD 1945, tak sepakat dengan usulan Partai NasdDem. Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menegaskan, partainya hanya menginginkan amandemen UUD 1945 terbatas dan tidak sampai membahas soal perubahan masa jabatan presiden. Hasto menilai, masa jabatan presiden dua periode atau sepuluh tahun masih ideal.

Lebih jauh, Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat mengatakan, wacana penambahan masa jabatan presiden itu akan berpotensi mengembalikan Indonesia ke era Orde Baru, saat negara ini dipimpin oleh Presiden Kedua Suharto. 

"Kalau menurut saya sih itu membahayakan ya. Kembali lagi nanti kayak Pak Harto (Soeharto)," tutur Djarot yang menambahkan usulan penambahan masa jabatan presiden belum pernah dibahas di forum kerja MPR.

"MPR hanya ingin menghadirkan pokok-pokok haluan negara, yang lain-lain itu enggak ada," tambah Ketua Badan Pengkajian MPR itu.

Kompleks Gedung Parlemen (Irfan Meidianto/VOI)

Sementara itu, Wakil Ketua MPR Arsul Sani (PPP) menambahkan, pembahasan penataan sistem presiden yang sedang dilakukan di MPR, sama sekali tak membahas wacana penambahan masa jabatan presiden. 

Sekjen PPP ini menambahkan, partainya dan sembilan fraksi partai politik yang ada di MPR, justru tidak ada yang setuju dengan penambahan masa jabatan presiden. Mereka tetap mendukung sistem yang selama ini sudah berjalan, yaitu presiden dipilih maskimal dua periode, dengan lama masa jabatan selama lima tahun.

Wakil Ketua MPR Syarief Hasan (Partai Demokrat) menegaskan pernyataan Arsul, tak ada pembahasan soal penambahan masa jabatan presiden ini. Bagi partainya, dua kali lima tahun adalah durasi maksimal dari masa jabatan Presiden Indonesia.

Wakil Ketua MPR Zulkifli Hasan (PAN) juga demikian. PAN, katanya, tetap seperti komitmen awal yakni membahas rekomendasi amandemen terbatas UUD 1945 tanpa tambahan apapun. "(Amandemen) terbatas, sudah titik," tutur Ketua Umum PAN ini.

Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid (PKB) menambahkan, sejauh ini pembahasan amendemen UUD 1945 hanya untuk GBHN. Dia menerangkan, fraksinya tidak sepakat apabila amendemen UUD 1945 turut mengubah masa jabatan dan kedudukan presiden. 

Selanjutnya, sejumlah partai politik menolak adanya usulan penambahan masa jabatan presiden ini dengan alasan dapat membuat negara ini tidak berjalan dengan baik. Partai Golkar misalnya, tak ingin usulan ini disahkan. Sebab, takutnya, hal ini malah membuat terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. 

"Kita tidak ingin Presiden berkuasa dalam rentang waktu yang terlalu panjang sehingga berpotensi menimbulkan abuse of power."

Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily

Kemudian, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera juga menekankan hal yang sama dengan Ace. Kata dia, wacana penambahan masa jabatan presiden bisa berbahaya bagi perwujudan cita-cita reformasi dan berpeluang membawa Indonesia kembali ke masa Orde Baru.

Lalu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon yang punya ketakutan yang sama. Lebih jauh, dia takut negara ini akan pecah jika memperdebatkan soal masa jabatan presiden ini. "Saya kira sudah final, negara demokrasi cukup dua periode selesai, jangan ada mimpi mau tiga periode," tuturnya.