Mendalami Konsep <i>Manifestation</i>: Benarkah Semua Keinginan Bisa Terwujud Tergantung dari Cara Pikir?
Ilustrasi (Unsplash/Ben White)

Bagikan:

JAKARTA - Hidup seseorang bisa berubah 180 derajat dengan mengubah cara pikirnya. Salah satu buktinya diceritakan pemilik akun media sosial Twitter @colatash yang viral setelah dibanjiri puluhan ribu likes. Dalam dunia Psikologi fenomena ini disebut manifestation (manifestasi). Bila ditelusuri sejarahnya konsep semacam ini pernah dikemukakan Filsuf Prancis Rene Descartes pada abad 15 dalam ucapannya yang terkenal: "Aku berpikir maka aku ada." Pertanyaannya, benarkah dengan memikirkan apa yang jadi keinginan kita maka semuanya akan terwujud?

Kita mulai dari kisah @colatash. Dalam utasnya di Twitter ia menceritakan pernah merasa dirinya jelek buluk tak terawat. Pikiran itu tertanam cukup dalam di benaknya, sehingga ia menjadi orang yang sangat tak peduli pada penampilannya. 

Namun semenjak ia mengubah pola pikirnya, dan meyakinkan dirinya bahwa dirinya itu cantik, semuanya berubah. "Aku jadi lebih suka makan-makanan yang sehat, suka workout, dan yang paling penting, saya tidak terlalu mempedulikan apa yang orang pikirkan," tulisnya.

Ia mengaku telah berhasil menerapkan konsep manifestation. Itu menjadi kunci dirinya mengapa bisa berubah. Lalu apa itu manifestation?

Seperti dijelaskan dalam Psychology Today, pada dasarnya konsep ini berfokus tentang apa yang kita inginkan dan mendapatkannya melalui apa yang kita pikirkan, katakan, dan lakukan. Namun kebanyakan orang berpikir seolah-olah kita hanya perlu berpikir positif, kemudian semua keinginan kita akan terpenuhi. 

Namun realitanya ternyata tidak semudah mengedipkan mata. Psikolog Denise Fournier dalam tulisannya di Psychology Today menekankan bagian paling penting dari konsep manifestasi adalah tentang melakukan. Bukan hanya sebatas berpikir. 

Hal ini tentu cocok dengan klaim @colatash yang berhasil mengubah dirinya berkat melakukan manifestasi. Perubahan dalam dirinya memang dipicu dari pemikiran, namun tetap hasil akhir atau outputnya tercipta dari apa yang ia lakukan. Saat itulah, seolah-olah kita mungkin bisa merasa, bahwa semesta telah mengamini pikiran kita.

Cogitu ergo sum

Konsep manifestasi ini sebetulnya bukan barang baru. Filsuf kenamaan Prancis Rene Descartes yang hidup pada abad ke-15 pernah mengeluarkan "sabda" yakni "cogitu ergo sum" yang artinya "aku berpikir maka aku ada".  

Psikolog Tika Bisono mengartikan ucapan Descartes bahwa kita memang punya kemampuan untuk menggiring energi kita, untuk menciptakan apa yang kita mau. "Kalau dari sudut pandang lain, ini kebebasan dalam berkesadaran," kata Tika kepada VOI

Manusia kata Tika, pada dasarnya memang bisa menggerakkan energi dirinya sendiri. "Hal itulah yang disebut dengan motivasi."

Motivasi kata Tika sifatnya naik turun. Bisa hidup bisa meredup. "Itu enggak bisa dibeli, itu harus dari diri sendiri," ujarnya. 

Tika mengatakan, pada saat dirinya memberikan konseling, bukan untuk membuatkan keputusan kepada pasiennya. "Tapi menggerakkan orang tersebut supaya motivasinya bangkit."

Kembali ke ucapan Decartes "saya berpikir maka saya ada" itu kata Tika sebenarnya yang diunggulkan adalah kekuatan pola pikir. "Sehingga bisa memanifestasikan dirinya sesuai dengan apa yang dia mau."

Filsuf Prancis, Rene Descartes (Sumber: Wikimedia Commons)

Kendali penuh di diri sendiri

Dalam psikologi pendidikan atau perkembangan, ada yang disebut dengan the law of nature dan the law of nurture. "Kalau nature itu berkaitan dengan bakat dari lahir, kalau nurture itu pola asuh yang kita dapat dari luar," kata Tika.

Dalam hal pengaruh manusia dihadapkan pada pilihan baik dan buruk. Bila termanifestasi terus menerus pengalaman-pengalaman tersebut menjadi milik si manusia tersebut. "Tidak ada sama sekali kaitannya dengan orang lain," kata Tika. 

Sebab menurut Tika, Sang Pencipta memang telah membekali manusia secara utuh atas apa yang mereka butuhkan. Bahkan menurutnya, kemampuan otak manusia yang sudah diteliti selama ratusan tahun ini tak akan sepenuhnya terungkap. "Tetap akan menyisakan misteri."

Lalu apa yang dialami @colatash terlihat seolah-olah sudah melakukan keajaiban. Padahal tidak. Memang dia sudah punya kemampuan itu sejak ia lahir. 

Namun, kata Tika, dulunya @colatash pernah mengambil keputusan fatal dalam hidupnya. Dia memutuskan untuk mendengarkan apa kata orang bahwa dirinya jelek. 

"Jadi sebenarnya dia tidak bisa menyalahkan omongan orang lain, sehingga ia jadi terpengaruh. Dirinya yang mengambil keputusan tersebut untuk menjelek-jelekan dirinya sendiri."

Tika mengamini bahwa kita sangat bisa terpengaruh oleh perkataan orang lain. Namun tetap saja kata dia keputusan paling final atas diri ini hanyalah diri kita sendiri. 

"Pengambil keputusan terakhir siapa? Yang paling akhir, sebelum keputusan kita dilanjutkan dengan tindakan (acuh kepada diri sendiri, tak peduli penampilan) kan dia (@colatash) yang ambil keputusan itu. Seharusnya ya kita bersikap antitesis dong," jelas Tika. 

Lalu apabila ada hal buruk yang mempengaruhi, seharusnya dilawan. "Buktikan kalau kita tidak begitu," kata Tika.