Bagikan:

JAKARTA - Polisi telah menetapkan Jerinx sebagai tersangka. Jerinx dijerat sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena unggahan Instagram, di mana ia menyebut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai kacung Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Berdebatlah soal kegaduhan yang dibuat Jerinx. Namun, pemenjaraan Jerinx adalah kesalahan. Dan kasus ini sejatinya kembali mengingatkan kita betapa bahayanya UU ITE.

"Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan rumah sakit dengan seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan test COVID-19," tulis pria bernama asli I Gede Ari Astina dalam unggahan Instagramnya.

Setelah unggahan itu, Ketua IDI Bali I Gede Putra Suteja melaporkan Jerinx ke Polda Bali atas tuduhan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik. Jerinx mangkir dalam pemanggilan pertama sebagai saksi. Ia memenuhi panggilan kedua ketika statusnya ditetapkan sebagai tersangka.

Jerinx mengatakan tak ada muatan kebencian untuk IDI dalam unggahannya. Menurut Jerinx, seluruh pesan yang ia sampaikan adalah kritik murni. "Saya ingin menegaskan sekali lagi, saya tidak punya kebencian dan niat menghancurkan atau menyakiti perasaan kawan-kawan IDI. Jadi, ini seratus persen sebuah kritikan," kata Jerinx.

Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Syamsi mengatakan penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) telah memeriksa sejumlah orang sebagai saksi dalam kasus ini, termasuk pelapor dan ahli.

Jerinx pun dijerat dengan sangkaan Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45A ayat (2) dan/atau Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE. "Ancaman hukuman enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar," kata Syamsi.

Pasal gagal Jerinx

Dalam isu COVID-19, Jerinx adalah pembuat kegaduhan. Begitu gaduh hingga kita dapat melihat Jerinx sebagai dua sosok yang berbeda. Ia adalah pembual, pemicu kekacauan, perusak perspektif ilmiah. Di sisi lain, Jerinx adalah pemberani, pembuka alam pikiran, penjunjung tinggi prinsip kebebasan berpendapat. Silakan berdiri di sisi yang Anda ingin.

Yang jelas, untuk pemenjaraan Jerinx, rasanya kita harus berdiri di satu sisi. UU ITE adalah ancaman nyata. Jerinx harus dibebaskan. Ada sejumlah alasan. Yang paling mudah dan bahkan tak memerlukan perdebatan konspiratif adalah bahwa penggunaan pasal pidana UU ITE untuk menjerat Jerinx atas unggahan "IDI Kacung WHO" tidaklah tepat.

Penggunaan Pasal 28 Ayat (2), misalnya. Pada dasarnya, ketentuan tersebut hanya dapat digunakan untuk menjerat bentuk ekspresi yang termasuk dalam kategori incitement to hatred/violence/dicriminate alias penghasutan untuk memicu tindak kebencian, kekerasan ataupun diskriminasi berdasarkan SARA. Selain itu, niat juga jadi komponen penting.

Jerinx saat digelandang di Polda Bali (Twitter/@VLAMINORA)

Aliansi Masyarakat Sipil, dalam keterangannya menjelaskan tak terpenuhinya elemen penting untuk menjerat Jerinx dengan pasal tersebut. "Menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)," dikutip Kamis, 13 Agustus.

Tak cuma Pasal 28 Ayat (2). Pasal lain juga dinilai tak tepat. Pasal 27 Ayat (3) tentang pencemaran nama baik, misalnya. Pasal tersebut, dalam penerapannya harus mengacu pada ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang mengatur pencemaran terhadap individu. Artinya, pasal itu tak dapat digunakan oleh IDI sebagai institusi.

Lagipula, Pasal 27 Ayat (3) adalah delik aduan, yang artinya hanya individu yang dicemarkan nama baiknya yang bisa melapor. Tak ada perspektif wakil-mewakili dalam konteks ini. "Tentu saja menjadi tidak masuk akal kemudian, ketika institusi yang harus diwakili oleh seseorang menggunakan ketentuan ini," tertulis.

Ancaman UU ITE

Namun, begitulah UU ITE. Ia akan selalu jadi paradoks dalam kehidupan berdemokrasi yang tengah dibangun di Indonesia. Disahkan tahun 2008, UU ITE telah memakan banyak korban. Lihat saja catatan Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet) tentang laporan kasus UU ITE di tahun 2019.

Lembaga nirlaba yang fokus dalam kepentingan kebebasan berekspresi itu mencatat tahun 2019 sebagai salah satu periode waktu paling suram. Begitu banyak upaya kriminalisasi menggunakan UU ITE. Salah satunya adalah kasus yang menjerat dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet.

Orasi Robet yang di depan Istana Negara pada akhir Februari 2019 jadi masalah. Nyanyian bermuatan kritik terhadap aksi militer masuk ke ranah sipil yang Robet lantangkan dianggap kriminal. Ia dilaporkan karena dianggap menyebar informasi dengan tujuan menyebar rasa benci.

Selain Robet, Dandhy Laksono juga sempat ditetapkan tersangka atas dugaan kasus ujaran kebencian. Polda Metro Jaya menjerat pendiri Watchdoc itu dengan Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45 A Ayat (2) UU 11/2009 tentang perubahan atas UU 8/2016 tentang ITE dan atau Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dandhy dianggap menyebar kebencian melalui kicauan Twitternya pada 23 September.

Kebebasan berpendapat makin dikekang. Ruang kritik kian terancam. Selain Robet dan Dandhy, banyak kasus lain yang menggambarkan ancaman besar UU ITE terhadap demokrasi.

Catatan terakhir kepolisian di tahun 2019 merekam 3.100 kasus yang mereka tangani terkait pasal-pasal di dalam UU ITE. Para pelapor umumnya menggunakan Pasal 27 Ayat (1) yang memuat pelanggaran kesusilaan, Pasal 28 Ayat (2) tentang penyiaran kebencian, serta Pasal 29 tentang ancaman kekerasan.

Berkaca dari berbagai kasus UU ITE di atas, Aliansi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah dan DPR untuk segera duduk kembali untuk memprioritaskan perubahan kembali UU ITE. Aliansi menilai, UU ITE tak tepat sasaran dengan penggunaannya yang cenderung eksesif.