Bagikan:

MAKASSAR - Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto (Danny Pomanto) memastikan jika oknum pegawai kontrak yang memalsukan sertifikat vaksinasi COVID-19 akan dipecat dan dilanjutkan dengan proses hukum.

"Kan pelakunya pegawai kontrak dan yang dilakukan itu pidana. Kasusnya juga sudah ditangani kepolisian," ujar Danny Pomanto dikutip Antara, Senin, 25 Oktober.

Oknum FT dan WD diamankan oleh Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Makassar setelah dilakukan penyelidikan mengenai laporan pemalsuan sertifikat vaksin.

Danny Pomanto mengatakan adanya pemalsuan sertifikat vaksin itu diketahuinya setelah dirinya menerima laporan dan data-data warga yang telah menerima suntikan vaksinasi.

"Saya sendiri yang lapor itu (polisi), karena saat audit semua vaksinasi ditemukan ada Puskesmas kenapa tiba-tiba antara laporan orang yang sudah divaksin dengan vaksinnya berbeda dan inilah yang jadi tanda tanya besar," ucapnya.

Sebelumnya, Satreskrim Polrestabes Makassar mengamankan dua terduga pembuat surat vaksin COVID-19 palsu.

"Kami sudah mengamankan dua orang pelaku, inisial FT dan WD. Pemalsuan yang bersangkutan berawal dari Juli-17 September 2021," ujar Wakil Kasat Reskrim Polrestabes Makassar AKP Jufri saat rilis kasus di Polrestabes Makassar.

Dia menjelaskan modus operandi yang digunakan pelaku yakni saling bekerja sama membuat surat vaksin palsu.

FT, berjenis kelamin laki-laki bertugas mencari warga yang tidak mau divaksin COVID-19. Sedangkan WD perempuan diketahui oknum perawat yang membuat surat vaksin tersebut.

Dari perbuatannya, sejak beroperasi Juli sampai 17 September 2021, sebanyak 179 warga telah dibuatkan surat vaksin palsu. Untuk satu surat vaksin dikenakan biaya Rp50 ribu.

"Dengan adanya kasus ini, kami berhasil menyita dari tersangka uang hasil penjualan surat vaksin palsu sebanyak Rp9 juta," ujar Jufri.

Kedua tersangka itu kini ditahan di ruang tahanan Polrestabes Makassar untuk menjalani proses hukum serta dijerat pasal berlapis.

Pelaku dikenakan pasal 55 ayat 1 Undang-undang nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.

Selain itu, pelaku dijerat dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan ancaman pidana 12 tahun penjara dan denda Rp15 miliar.