Bagikan:

JAKARTA - Seorang gadis berinisial SP (21) menjadi korban pemerkosaan tiga pria yang merupakan petugas keamanan salah satu rumah sakit di Jakarta Barat. 

Awal mula aksi pemerkosaan ini, ketika para pelaku, BH (24), EEM (24), dan AP (21), menenggak minuman keras, pada Minggu, 7 Juni. Dalam kondisi mabuk, 2 pelaku memutuskan berkeliling mengendarai sepeda motor.

Di perjalanan, mereka melihat SP sedang berjalan sendirian di kawasan Kamal, Kalideres, Jakarta Barat. Niat jahat pun muncul di kepala kedua pelaku.

Mereka menggoda dan mengajak SP berkeliling ke sejumlah tempat. Mereka mengendarai motor berbonceng 3.

"Korban sedang berjalan di dekat rumahnya kebetulan bertemu dengan tersangka 1 dan 2. Kemudian, korban diajak ke daerah Dadap dan juga ke mal dekat Vila Bandar, muter-muter naik motor," ucap Kapolsek Kalideres, Kompol Slamet, Selasa, 23 Juni.

Setelah hari semakin malam, rencana jahat mereka pun muncul. SP dibawa ke salah satu rumah kos pelaku yang berada di kawasan Semanan, Kalideres, Jakarta Barat.

Korban diminta masuk ke dalam kamar kos itu. Tak berdaya, korban pun disetubuhi para pelaku secara bergantian. Bahkan, untuk menyamarkan aksinya, mereka membesarkan suara musik dengan tujuan agar ketika korban berteriak, para tetangga tak mendengarnya. Selain itu, para tersangka pun membekap mulut korban dengan tangan ketika menyetubuhinya.

"Digilir bertiga, awalnya pelaku 1 setelah selesai tersangka 2 gantian masuk, kemudian tersangka 3, digilir bertiga," tegas Slamet.

Tak sampai di situ, para pelaku membawa korban ke salah satu hotel di kawasan Mangga Dua. Di sana, 2 tersangka kembali memperkosa korban.

Beberapa hari berselang, pihak keluarga SP mengetahui anaknya menjadi korban pemerkosaan. Kasus ini pun dilaporkan ke polisi.

"Tiga tersangka sudah dilakukan penahanan, disangkakan dengan pasal pemerkosaan 285 KUHP atau 286 KUHP dengan ancaman 12 tahun penjara," kata Slamet.

Korban mengalami keterbelakangan

Dari hasil pemeriksaan, korban memiliki keterbelakangan mental atau tunagrahita. Sebab, ketika diminta untuk menceritakan ulang kejadian yang dialami, korban terlihat kesulitan untuk mengungkapkannya.

"Korban agak ada keterbelakangan sudah koordinasikan untuk pendampingan dan sudah dilakukan pemeriksaan secara psikologis," ucap Slamet sambil menambahkan, dilihat sekilas, keterbelakangan korban sama sekali tak tampak.

"Tapi keterbelakangan tidak terlalu kelihatan kalau lihat sepintas enggak terlihat. Sekarang ditanya susah kayaknya tekanan berat lah diajak ngomong susah," ucap Slamet.

Sisi psikologi pelaku

Psikolog dari Universitas Indonesia, Dr Rose Mini Agoes Salim mengatakan, pelaku tidak bermoral. Dia menganggap, pelaku sengaja memanfaatkan keterbelakangan korban agar lebih leluasa melakukan apa yang diinginkan.

"Mereka merasa mereka lebih leluasa melakukan itu dan tidak akan ada yang tahu karena mungkin tidak akan cerita dan tidak mungkin tidak bisa cerita," ucap Rose.

Di sisi lain, Rose mengatakan, perlu memberikan pendampingan mental kepada korban. Sebab, korban pasti mengalami tekanan atau trauma atas perbuatan pelaku. 

"Kita harus melihat karena yang mengalami itu (korban) pasti akan mengalami trauma dan perlakuan apa yang pernah dilakukan pasti akan membekas pada dirinya. Harus dilakukan pembinaan tentunya," pungkas Rose.