TULUNGAGUNG - Satuan Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur terus menyisir daerah pinggiran wilayah itu untuk menertibkan dan membubarkan segala jenis kegiatan hajatan. Hajatan dibubarkan karena berpotensi menyebabkan terjadinya kerumunan dan menjadi titik sebaran wabah corona.
"Kami melakukan patroli terarah setelah mendapat pengaduan dari warga lainnya," kata anggota Penegakan Hukum Satgas Percepatan Penanganan COVID-19 Kabupaten Tulungagung, Artista Nindya Putra dikutip Antara, Minggu, 1 Agustus.
Hingga saat ini, sudah lebih dari enam lokasi hajatan warga yang terpaksa dibubarkan. Tim Satpol PP yang didampingi aparat kepolisian, babinsa TNI serta perangkat desa mendatangi tempat-tempat yang dijadikan lokasi hajatan.
"Terakhir kegiatan hajatan yang kami bubarkan ada di Desa Waung, Kecamatan Boyolangu dan di Desa Gondanggunung Kecamatan Pagerwojo," ucap pria yang akrab disapa Genot ini menjelaskan.
Penertiban sedianya juga menyasar seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Tulungagung. Tidak hanya yang ada di pusat kota dan wilayah pinggiran, namun juga menyasar perkampungan di pelosok desa dan pegunungan setempat.
Kata Genot, larangan kegiatan hiburan maupun hajatan berlaku di semua kecamatan yang ada di Kabupaten Tulungagung. Hal ini mengacu pada kebijakan pemerintah yang memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4.
"Padahal kami sudah sering kali melakukan sosialisasi kepada perangkat desa maupun masyarakat terkait larangan hajatan ini. Tetapi nyatanya di lapangan masih banyak masyarakat yang bandel dan melakukan hajatan dengan keramaian," katanya.
Satgas penanganan COVID-19 sudah dibentuk mulai dari tingkat desa, kecamatan, hingga tingkat kabupaten.
Semua Satgas mempunyai tugas yang sama, mengedukasi dan memberikan sanksi kepada masyarakat jika melanggar aturan PPKN level 4.
“Jadi berjenjang, mulai tingkat desa, kecamatan hingga Kabupaten,” jelasnya.
BACA JUGA:
Pelanggaran hajatan biasanya terjadi di wilayah pinggiran atau pegunungan yang jauh dari pengawasan. Di Desa Gondanggunung misalnya, meski sudah dilarang, hajatan dilakukan dengan dekorasi mewah.
Meski makanan sudah dengan sistem take away atau nasi kotak, namun pengaturan tempat duduknya masih berhimpitan. Perangkat desa setempat sebenarnya sudah melakukan sosialisasi.