JAKARTA - Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) menolak adanya wacana mengenai perluasan ukuran peringatan kesehatan bergambar alias pictorial health warning (PHW) 90 persen pada bungkus rokok. Sebab, hal itu dinilai dapat merugikan pabrik kecil.
Wacana ini bermula, saat Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) meminta pemerintah memperluas ukuran PHW 90 persen pada bungkus rokok. Hal ini karena ukuran PHW yang kini mencangkup 40 persen, dianggap belum berdampak maksimal untuk menekan konsumsi rokok masyarakat. Ukuran PHW tampak semakin kecil karena kerap tertutup pita cukai.
Ketua KNPK Azam Mohammad mengatakan, wacana tersebut hanya membuat kondisi Industri Hasil Tembakau kian terpuruk. Apalagi industri juga sedang menghadapi badai krisis akibat pandemi virus corona atau COVID-19.
Lebih lanjut, Azam menjelaskan, penolakan KNPK atas wacana perluasan ukuran PHW sebesar 90 persen pada bungkus rokok, didasari oleh tiga argumentasi.
"Pertama, pabrikan rokok kecil akan semakin terpuruk di tengah beban cukai yang semakin tinggi. Pabrikan kecil tertimpa beban tambahan untuk menerapkan gambar peringatan di produknya. Cost kembali bertambah, sementara modal dan cash flow perusahaan sangat pas-pasan," tuturnya, melalui keterangan tertulis yang diterima VOI, Rabu, 20 April.
BACA JUGA:
Azam berujar, perluasan PHW ini dapat berdampak pada bangkrutnya pabrikan rokok kecil. Berdasarkan catatan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), ada penurunan jumlah pabrik rokok yang aktif berproduksi. Pabrikan rokok di Indonesia yang memiliki izin sebanyak 600 pabrik. Namun hanya 100 pabrik yang masih aktif berproduksi setiap harinya.
"Kedua, perluasan gambar peringatan sebesar 90 persen berdampak pada hilangnya brand image pada bungkus rokok," ucapnya.
Menurut Azam, hilangnya brand image ini akan berdampak kepada meningkatnya peredaran rokok ilegal. Selain itu, juga tidak ada jaminan keamanan produk bagi konsumen.
"Hilangnya brand image pasti akan memicu peredaran rokok ilegal, sebab akan sulit membedakan produk dari brand atau merek rokok tertentu karena semua bungkus rokok akan seragam. Konsumen juga tidak mendapatkan kepastian mengenai produk rokok yang dikonsumsinya," jelasnya.
Lebih lanjut, Azam mengatakan, justru dengan mengetahui brand yang dikonsumsi, maka konsumen dapat mengakses informasi mengenai brand tersebut.
"Ketiga, bungkus rokok merupakan ekspresi budaya bagi pabrik dan masyarakat sejak industri kretek berdiri hingga kini," tuturnya.
Azam menilai, wacana perluasan PHW ini dapat mematikan ekspresi budaya. Sedangkan, mematikan hak berekspresi merupakan pelanggaran hak asasi dalam kebudayaan.
"Dari ketiga argumentasi di atas, wacana perluasan peringatan kesehatan bergambar sebesar 90 persen pada bungkus rokok tidak memiliki urgensi untuk diterapkan menjadi kebijakan. Justru yang ada hanyalah dampak kerugian bagi Industri Hasil Tembakau," katanya.