Diminta Setop Penggunaan GeNose, Kemenkes: Rapid Antigen Juga Tidak 100 Persen, Tinggal Pilih
Alat GeNose C19 yang akan digunakan kepada pelaku perjalanan di Terminal Rajabasa Bandarlampung/ Antara

Bagikan:

JAKARTA - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi menanggapi usulan penghentian penggunaan alat tes COVID-19 GeNose C19 sebagai syarat perjalanan.

Nadia menuturkan, potensi ketidakakuratan penggunaan GeNose dari hasil pemeriksaan para pelaku perjalanan masih bisa dimaklumi. 

Sebab, hal ini hanya dilakukan untuk skrining keterpaparan COVID-19 bagi masyarakat yang bermobilitas, bukan sebagai alat diagnosa infeksi COVID-19. 

"GeNose digunakan sebagai skrining saat ini. Tentu ada keterbatasan kebijakan penggunaan karena bukan alat diagnostik," kata Nadia kepada VOI, Rabu, 23 Juni.

Terkait temuan positif palsu (false positive) atau negatif palsu (false negative) dari penggunaan GeNose, Nadia mengaku memang ada sekian persen potensi tak akurat. Begitu pula dengan alat tes lain seperti rapid test antigen.

"Rapid antigen kan juga tidak 100 persen. Tinggal pilihan saja mau menggunakan tes sebagai syarat perjalanan. Kan ada rapid antigen dan swab PCR juga," ungkap Nadia.

Sebagai informasi, Sejumlah ahli epidemiologi meminta pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perhubungan menyetop penggunaan GeNose C19 sebagai salah satu syarat perjalanan masyarakat transportasi publik.

Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono menyebut GeNose tidak tepat sebagai alat skrining di bandara hingga stasiun. Pandu juga tak menyarankan GeNose dipakai sebagai alat skrining COVID-19 pada sejumlah kegiatan.

Sebab, kata dia, saat ini belum ada validasi dari pihak eksternal selain Universitas Gadjah Mada (UGM), pihak pembuat GeNose, yang menyatakan alat tersebut memiliki akurasi tes virus corona hingga 90 persen.

"Hindari penggunaan alat skrining COVID-19 GeNose yang tidak tervalidasi pada pelaku perjalanan, pertemuan, perkantoran, pengunjung hotel, kegiatan pendidikan seperti sekolah dan kuliah, event olahraga, konser, dan sebagainya," kata Pandu saat dikonfirmasi VOI.

Ahli epidemiologi dari Griffith University Australia, Dicky Budiman juga mengaku sejak awal tak setuju jika pelaku perjalanan menggunakan hasil tes GeNose sebagai syarat bepergian.

Sebab, beredar kabar adanya temuan hasil negatif palsu (false negatif) dan positif palsu (false positive) dari penggunaan GeNose. Karenanya, keakuratan tes GeNose diragukan.

Masalahnya, saat ini penyebaran COVID-19 paling banyak disebabkan oleh masyarakat yang melakukan perjalanan. Yang Dicky khawatirkan, keterpaparan virus corona tak terdeteksi karena ketidakakuratan GeNose.

"Sejak awal saya tidak melihat penempatan GeNose tepat sebagai alat skrining di fasilitas umum dan cenderung berbahaya, apalagi dengan adanya varian baru yang luar biasa efektif dalam menginfeksi melalui udara," kata Dicky dalam pesan singkat.

Ahmad meminta Kementerian Kesehatan menyetop izin edar GeNose sebagai salah satu syarat pelaku perjalanan transportasi, mulai dari bandara hingga stasiun.

"Coba pemerintah moratorium penggunaan GeNose dulu, kaji dulu, pakai dulu aja alat skrining yang standar seperti antigen dan PCR. ini untuk keselamatan masyarakat juga," tutur Ahmad.

Ahmad tak meragukan klaim UGM soal keakuratan GeNose mencapai 90 persen dalam memeriksa virus corona. Namun, saat ini belum ada hasil validasi dari pihak eksternal untuk menguji hal itu.

Padahal, sejak bulan Februari lalu, ada tiga kampus yang akan melakukan validasi eksternal GeNose. Kampus tersebut adalah Universitas Indonesia, Universitas Andalas, dan Unair.

"Saya sangat berharap ada hasil validasi eksternal dari pihak kampus itu agar objektif klaim akurasinya 90 persen. Kalau hasil uji validasi eksternalnya sama dengan klaim UGM, berarti masalahnya bukan di GeNose," ujar dia.