JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah untuk mengubah cara pandangnya dalam melihat sektor properti. Hal ini menyusul permintaan pengusaha properti untuk mendapatkan stimulus dari pemerintah di tengah kondisi pandemi virus corona atau COVID-19.
Ketua Apindo bidang Properti, Sanny Iskandar mengatakan, sektor properti tidak bisa dilihat orientasinya selalu hanya komersil semata. Namun, lebih dari itu, sektor properti adalah penunjang pemerintah di bidang infrastruktur.
"Harusnya pemerintah melihat ini adalah kepanjangan tangan dari pemerintah. Karena bagian dari bisnis atau dunia usaha selalu berhubungan dengan infrastruktur. Harus dilihat seperti itu, jangan dilihat dari sisi komersil saja," ujar Sanny beberapa waktu lalu.
Menurut Sanny, pengusaha di bidang properti juga tidak selalu berhubungan dengan mal atau pusat perbelanjaan, hotel, maupun perkantoran. Tetapi, tidak sedikit pengembang atau developer yang mengerjakan proyek pembangunan perusahaan nasional.
"Jadi ini kan betul-betul efek sosialnya ini luar biasa. Kalau tidak ada pengembang-pengembang seperti yang besar-besar ini, mana ada yang namanya kota seperti Bintaro Jaya, BSD, kota-kota mandiri maupun menengah, termasuk skala kecil," katanya.
BACA JUGA:
Sanny menjelaskan, perusahaan properti besar mungkin masih bisa bertahan di tengah pandemi COVID-19 ini. Namun, pemerintah juga harus memikirkan nasib pengembang kecil di daerah-daerah. Sebab, arus kas perusahaan pengembang hunian untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) ini dikhawatirkan tidak cukup untuk bertahan.
"Dunia usaha pengembang properti ini bervariasi dan kalau kita perhatikan yang ada di perusahaan MBR ini banyak, ini yang kita khawatirkan. Bukan berarti yang non-MBR kita enggak khawatir, akan tetapi MBR ini lebih rentan terganggu cashflow-nya," tuturnya.
Sementara itu, Sekretaris Apindo Eddy Hussy berujar, pengembang MBR dapat dikatakan sama dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pengembang yang membangun program sejuta rumah ini membutuhkan insentif dalan realisasi KPR yang saat ini masih mengalami kendala di lapangan.
"Apabila konsumen beli rumah ini prosesnya lambat atau ada kriteria ketat dari bank. Bank juga selektif dan menolak sehingga mereka (pengembang MBR) penjualannya terganggu. Oleh karena itu, saat COVID-19 ini harus ada relaksasi khusus supaya betul-betul bisa KPR, rumah terjual, arus kas berputar. Akan tetapi kenyatannya masih terbatas," kata Eddy.