Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah melarang semua lapisan masyarakat untuk mudik sebagai langkah pencegahan penyebran COVID-19. Aturan ini dinilai membingungkan karena larangan hanya berlaku dengan daerah tujuan di luar Jabodetabek.

Sementara untuk daerah penunjang ibu kota, larangan itu tak berlaku. Masyarakat Jakarta diperbolehkan untuk mudik Lebaran ke Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek), ataupun sebaliknya.

Kabag Ops Korlantas Polri, Kombes Benyamin mengatakan, masyarakat yang ingin mudik lokal harus menaati semua aturan yang ada, yaitu, mengedepankan peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Pembatasan jumlah penumpang pada satu kendaraan hingga penggunaan masker merupakan aturan yang harus ditaati. Dengan begitu, upaya pencegahan penyebaran COVID-19 tetap berjalan.

"Boleh (mudik Jabodetabek), tidak ada masalah kalau itu," kata Benyamin, Kamis, 14 Mei.

Tetapi, soal sanksi bagi mereka yang melanggar, Benyamin tak bisa berkomentar banyak. Sebab, hal itu sudah masuk ke ranah pemerintah daerah terkait yang memiliki jenis sanksi masing-masing

"Ya kalau dalam lingkungan PSBB seperti itu, masalah sanksi serahkan pada masing-masing pemerintah daerah," pungkas Benyamin.

Analisis Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah mengatakan, munculnya kelonggaran mudik di wilayah Jabodetabek seolah membuat bingung masyarakat. Terlebih, aturan yang sudah dibuat dan terapkan sejak beberapa waktu lalu menjadi tidak tegas.

Kebingungan yang dimaksud soal berbedanya aturan penerapan PSBB di daerah-daerah tersebut. Sehingga, kemungkinan akan terjadi naiknya jumlah pelanggar pada penindakan aturan mudik.

"Sangat membingungkan masyarakat. Kalau mau dilarang (mudik) ya dilarang terus," kata Trubus.

Selain itu, kelonggaran soal mudik pun juga bisa memperbesar potensi penyebaran COVID-19. Alasannya masyarakat Jakarta yang merupakan daerah dengan tingkat penyebaran terbanyak bisa pergi ke daerah-daerah tersebut.

Bahkan, dampak yang lebih besar juga akan terjadi yaitu, masyarakat di daerah lain yang merasa tidak diperhatikan nantinya bisa menyulut munculnya pergerakan-pergerakan negatif atau sebagainya.

"Jelas akan memperbesar potensi penyebaran COVID-19. Kemungkinan masyarakat yang di luar wilayah itu merasa ada deskriminatif sehingga muncul hal-hal yang tak dinginkan," pungkas Trubus.