JAKARTA – Vonis terhadap tiga terdakwa kasus pertambangan timah di Bangka Belitung telah dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin lalu. Putusan ini semakin menguatkan persepsi bahwa industri pertambangan, khususnya timah, menjadi salah satu penyebab utama kerusakan lingkungan.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menyatakan bahwa kerusakan lingkungan adalah konsekuensi alami dari aktivitas pertambangan. Namun, menurutnya, yang lebih penting adalah upaya pemulihan lingkungan, seperti reklamasi, untuk meminimalkan dampak negatif.
BACA JUGA:
“Tambang di mana pun, baik legal maupun ilegal, pasti merusak lingkungan. Oleh karena itu, pemberian izin usaha pertambangan (IUP) disertai kewajiban untuk mengembalikan kondisi lingkungan melalui reklamasi,” ujar Fahmy, Selasa, 24 Desember.
Fahmy menambahkan bahwa meskipun tambang membawa dampak lingkungan, industri ini juga berkontribusi besar terhadap pendapatan negara dan kegiatan ekonomi masyarakat sekitar. Karena itu, pengusaha tambang diharapkan menjalankan tanggung jawab lingkungan agar dampak negatif tidak berlarut-larut.
“Semua tambang, baik itu timah, batu bara, atau nikel, merupakan bagian dari industri ekstraktif yang pasti merusak lingkungan. Namun, kerusakan itu bisa diperbaiki melalui reklamasi, meskipun membutuhkan biaya besar,” ungkap Fahmy.
Selama pengusaha tambang menjalankan operasi secara legal, termasuk memenuhi kewajiban reklamasi, Fahmy menilai tidak ada alasan bagi mereka untuk khawatir menghadapi ancaman pidana.
“Keuntungan tambang sangat besar. Kalau sebagian keuntungan dialokasikan untuk biaya reklamasi, itu seharusnya tidak menjadi masalah. Yang penting, prosesnya legal dan tanggung jawab terhadap lingkungan tetap dilakukan,” jelas Fahmy.
Dalam kasus ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis berat kepada tiga terdakwa dari PT Refined Bangka Tin (RBT). Harvey Moeis divonis 6 tahun 6 bulan penjara, denda Rp1 miliar, serta kewajiban membayar uang pengganti Rp210 miliar.
Direktur Utama PT RBT, Suparta, menerima hukuman 8 tahun penjara, denda Rp1 miliar, dan membayar uang pengganti Rp4,5 triliun. Sementara itu, Direktur Pengembangan Usaha RBT, Reza Andriansyah, dihukum 5 tahun penjara, denda Rp750 juta, dan subsider 3 bulan kurungan.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi para pelaku usaha tambang untuk tidak mengabaikan kewajiban hukum dan tanggung jawab lingkungan.