JAKARTA - Aktivis lingkungan, sekaligus Pembina Yayasan Rehabilitasi Alam Bangka Belitung Elly Rebuin memberikan tanggapan soal kasus korupsi PT Timah yang berimbas pada PHK Massal pada karyawan smelter di Bangka Belitung.
Elly menyoroti, sebelumnya dalam rapat terbatas di kantor Presiden, Kamis 25 Juni 2015, Presiden Jokowi berjanji bahwa tambang rakyat di Bangka Belitung akan dilegalkan.
"Janji Presiden itu kini ditagih. Alih-alih dilegalkan dan dibina, penambang rakyat dikejar dan ditangkap. Hasil tambang rakyat di IUP PT Timah pun kini menyebabkan mantan Direksi PT Timah Periode 2015 – 2022 dan sejumlah pengusaha smelter dijebloskan ke tahanan Kejaksaan," ujarnya dalam keterangan yang diterima VOI, Selasa, 23 April.
Elly melanjutkan, mereka dituduh membeli timah illegal yang ditambang dari IUP PT Timah, lantas dilebur oleh smelter swasta, kemudian dibeli lagi oleh PT Timah.
Kendati proses itu dituduh bermuatan korupsi, namun Kejagung belum merilis berapa nilai kerugian dari praktik bisnis tersebut. Kejagung menetapkan kerugian negaranya dari penghitungan kerusakan ekologis yang lakukan oleh pakar lingkungan IPB, Bambang Hero Saharjo yang menyatakan kerugian yang ditimbulkan hingga Rp 271 Triliun.
Angka ini, kata dia menjadikan kasus koorupsi ini terbesar dalam sejarah penyidikan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia.
Elly kemudian mempertanyakan metode yang digunakan oleh Bambang Hero Saharjo. Penambangan timah di Bangka telah dimulai sejak tahun 1711.
“Kerusakan alam Babel, sudah terjadi sejak peradaban timah berlangsung. Kok bisa kerusakan alam tersebut dibebankan ke kegiatan kerjasama tahun 2015 – 2022?” Tanya Elly.
Menurutnya, kerusakan tidak bisa dilihat pada periode tertentu saja karena kegiatan penambangan sudah berlangsung berabad-abad sebelumnya.
Menurut Wakil Ketua Bidang Lingkungan Hidup HKTI Babel itu, jangan hanya dilihat dari aspek negatifnya. Tapi keuntungan ekonomi bagi pemerintah, masyarakat dan dunia bisnis juga harus dipertimbangkan.
Elly juga mempertanyakan siapa yang dituduh Kejaksaan Agung melakukan perusakan.
Jika itu dialamatkan kepada penambang rakyat, maka umumnya mereka menambang dilahan miliknya sendiri, meskipun tidak memiliki IUP.
“Mereka telah menambang sebelum PT Timah dan smelter didirikan,” jelasnya.
Lebih lanjut Elly juga mempertanyakan uang jaminan reklamasi yang sudah disetor PT Timah dan smelter ke negara.
“Kok tidak dijadikan pertimbangan oleh Kejaksaan?” sergahnya.
Elly berpendapat bahwa pelaku tambang bekerja tidak dalam kondisi tata niaga yang jelas tapi carut marut.
Lebih jauh Elly menyebut, kerjasama dengan PT Timah di akhir tahun 2018 – 2020 di mana hasil tambang rakyat dikumpulkan oleh PT Timah, diberi kompensasi dan dilebur ditempat smelter swasta lalu hasilnya logam dikirim ke PT Timah, menurut Elly adalah skema yang paling benar.
“Hasil carut-marut kembali ke negara melalui PT Timah, penambang rakyat tetap bekerja dan perekonomian babel tetap berjalan,” jelas Elly.
Terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang dan Pengolahan Pasir Mineral Indonesia (Atomindo) Rudi Syahwani mengungkapkan kondisi yang terjadi di Bangka Belitung mempersempit ruang masyarakat untuk memperoleh kesejahteraan dari tanah miliknya sendiri.
Seperti diketahui, setiap aktivitas pertambangan harus memperoleh izin usaha pertambangan (IUP) sesuai UU Minerba. Namun, ada kesulitan bagi masyarakat untuk memperoleh IUP ini karena birokrasi yang berbelit.
"Akhirnya masyarakat menambang timah di lahannya sendiri, memang secara aturan tidak boleh karena tidak memiliki IUP. Tapi masyarakat bilang ini tanah saya kok, ada Sertifikat Hak Milik (SHM) yang resmi dari negara, jadi boleh dong, dan ini sudah terjadi selama puluhan tahun," kata Rudi.
Dikatakan Rudi, sebenarnya PT Timah dan Smelter tidak bisa menerima hasil tambang timah dari masyarakat karena dianggap ilegal dan melanggar hukum. Namun hal itu harus dilakukan karena banyak wilayah konsesi IUP PT Timah dan perusahaan swasta yang ternyata tidak memiliki kandungan timah.
Sebaliknya, lahan masyarakat seperti perkebunan justru menghasilkan timah meski hanya di beberapa titik.
"Di sini akhirnya transaksi terjadi, namanya masyarakat kan pragmatis butuh uang, mereka menjual hasil tambang timahnya ke swasta karena dari sisi harga bisa dua kali lipat dibanding jika menjual ke PT Timah, untuk pencatatan laporan klaimnya dari IUP konsesi perusahaan swasta tadi. Nah ini masalahnya, perlu ada revisi regulasi yang memfasilitasi. Kalau masyarakat dilarang menambang toh itu di tanah mereka sendiri, dan aktivitas itu ada sebelum PT Timah dan swasta ada di tempat mereka. Aneh kalau masyarakat yang dikorbankan," beber Rudi.
BACA JUGA:
Sebelumnya Pemerintah Provinsi Bangka Belitung pun mengakui sudah mengetahui terjadinya PHK dan karyawan yang dirumahkan dari perusahaan smelter, utamanya lewat laporan lisan.
Karenanya perlu diwanti-wanti dampak buruk dari melesunya industri timah di Babel.
"Sisi ketenagakerjaan pasti akan ada masalah, terutama jumlah orang yang tidak bekerja akan bertambah dan efek lainnya akan muncul," kata Kepala Bidang (Kabid) Pengawasan Hubungan Industrial (HI) dan Jaminan Sosial (Jamsos) Disnaker Babel Agus Afandi.
Salah satu kekhawatiran dari banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan adalah meningkatnya kriminalitas. Ketika pendapatan menjadi sulit diraih, potensi naiknya kriminalitas justru semakin tinggi.
"Untuk masalah ini tentu bukan hanya Disnaker, tapi semua stakeholder harus berperan. Kita hanya berharap upaya hukum untuk memberi sanksi dan penertiban usaha Pertimahan di Babel, sebagai cara untuk pengusaha terutamanya menjalankan usaha dengan mengikuti aturan yang berlaku. Kita tidak berharap hal-hal yang buruk terjadi, tentu semua pihak dapat mengambil pelajaran dari yang sudah terjadi dan mengantisipasi yang tidak baik," pungkas Agus.