Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Golkar Zulfikar Arse Sadikin mengaku tak setuju dengan usulan Presiden Prabowo Subianto agar pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan tidak langsung atau lewat DPRD.

Menurut Zulfikar, masih banyak opsi skema pelaksanaan pilkada langsung untuk menekan ongkos politik yang mahal.  

Misalnya, paslon yang diketahui melakukan praktik uang langsung didiskualifikasi atau menekankan pemilu tidak sekadar hak bagi pemilih, melainkan kewajiban. Bila perlu, kampanye dibiayai oleh negara. 

"Masih banyak opsi-opsinya dengan meng-engineer sistem yang ada ini. Metode kampanyenya ya lebih menggunakan tatap muka, debat, dialog, yang betul-betul menampilkan profil, program. Tidak lagi kampanye akbar, tidak lagi model rapat umum, pasar murah, apa lagi, nggak usah. Kalau perlu kampanye dibiayai negara lebih besar," ujar Zulfikar, Senin, 16 Desember.

"Kalau perlu pemilu itu wajib bukan lagi hak. Kalau ngasih duit pemilih didiskualifikasi, bukan lagi urusan pidana. Batas umur pemilih itu dibuat aja hanya kategori umur, bukan cuma 17, yang dewasa lah misalnya 21. Caleg-caleg kan syarat 21 ya pemilih juga lah. Jadi masih banyak opsinya," sambungnya.

Zulfikar menilai, pilkada langsung saat ini justru dijalankan untuk mengoreksi sistem pilkada tidak langsung pada masa lampau. Jika dikembalikan lagi ke DPRD, kata dia, maka bisa menjadi sebuah kemunduran.  

"Demokratis itu kan secara umum dikenal dua model, ada yang dengan mandat tunggal lewat DPRD, ada yang mandat terpisah dipilih langsung oleh rakyat. Keduanya pernah kita kerjakan dan pemilihan langsung yang sekarang kita terapkan itu sebenarnya hasil koreksi atas pilihan DPRD," kata Zulfikar. 

"Kenapa dikoreksi? Karena itu tadi, pilihan DPRD itu ternyata tidak menempatkan rakyat yang punya daulat, tidak menempatkan rakyat sebagai episentrum politik, makanya dipilih pilkada langsung itu," imbuhnya. 

Zulfikar juga mengungkit sistem pilkada tidak langsung tidak memberikan pengalaman baik bagi demokrasi. Menurut dia, yang perlu dilakukan ialah mengevaluasi dari segi aturan dan norma dalam pelaksanaan pilkada langsung.

"Jadi bukan menengok ke belakang, menengok ya bisa lah tapi tidak kembali ke belakang. Kecuali kalau kita punya pengalaman baik dengan dipilih DPRD, sehingga ketika reformasi semangat demokratisasi kuat, maka kita sekarang ini ya pilihan kita langsung itu," jelasnya.

Karena itu, menurutnya, masih banyak opsi selain mengembalikan Pilkada lewat DPRD.

"Tinggal ke depan, di-engineering agar pemilihan langsung ini bisa terhindar dari excess negatifnya. Kan banyak tuh, misalnya, kita buat pemilunya tiga babak. Kabupaten/kota serentak, 1,5 tahun kemudian provinsi serentak, habis itu nasional serentak. Serentak maksudnya legislatif eksekutif dalam satu hari H pemilihan baik di daerah maupun nasional. Itu kan nanti bisa kita dapatkan pemenang daerah menang juga di nasional, sehingga sinkronisasi antara pusat dan daerah, kebijakan nasional dan daerah bisa jalan," papar dia.