Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah kini tengah berfokus pada penanganan pascabencana erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), mulai dari relokasi dan pembangunan hunian sementara (huntara) hingga pemberian dukungan psikososial bagi kelompok rentan.

“Kondisi para pengungsi saat ini semakin membaik dan stabil, dengan kebutuhan logistik yang terjamin,” kata Kepala Dinas Sosial Flores Timur Benediktus B. Herin dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Berbagai pihak juga terus bekerjasama untuk memberikan dukungan psikososial kepada para korban dampak erupsi, terutama anak-anak dan perempuan yang merupakan kelompok paling terpengaruh akibat bencana itu.

Dukungan psikososial dilakukan melalui berbagai kegiatan, termasuk psikoterapi yang meliputi katarsis mental, konseling, intervensi krisis, dan pemberian motivasi hidup. Selain itu, terdapat terapi bermain untuk anak-anak yang melibatkan sulap dan permainan interaktif yang dapat meredakan stres mereka.

“Fokus kami adalah memulihkan kondisi emosional anak-anak melalui kegiatan seperti bermain dan konseling,” kata Pendamping dari Yayasan Fren Rafael Keraf.

Menurut Rafael, trauma healing baru dilakukan setelah analisa dan asesmen awal terhadap kondisi anak-anak dilakukan.

Kegiatan yang diadakan petugas dari Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPKBP3A) Kabupaten Flores Timur pada Sabtu termasuk salah satu contoh bentuk dukungan psikososial yang diberikan kepada korban.

Beberapa kegiatan di Posko Pengungsian Desa Bokang Wolomatang, Kecamatan Titehena itu seperti bernyanyi, bercanda, serta beraktivitas bersama para pengungsi, khususnya anak-anak dan perempuan.

Metode itu diharapkan dapat mengurangi kecemasan dan panik yang dialami oleh pengungsi, terutama anak-anak, setelah bencana besar tersebut. Selain itu, kegiatan yang menyenangkan ini juga membantu mereka melupakan trauma sementara waktu.

Dukungan psikososial juga dilaksanakan di Posko Cabang SDI Bokang Wolomatang, di mana relawan turut memberikan dukungan psikososial bagi ratusan anak-anak pengungsi yang ada di posko tersebut.

Bono Nobo, seorang siswa berusia 12 tahun yang duduk di bangku kelas 6 SD, mengaku cukup trauma setelah erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki terjadi pada 3 November lalu. Ia dan keluarganya terpaksa mengungsi dan meninggalkan rumahnya yang rawan roboh akibat material letusan.

“Saya senang di sini karena banyak aktivitas yang membantu saya semangat, teman-teman juga banyak yang mengalami hal yang sama, tapi kami banyak dibantu oleh pemerintah dan relawan,” kata dia.

Tak hanya Bono, Celin seorang anak pengungsi lainnya yang berusia 10 tahun, juga mengaku semula merasa sedih karena kesulitan yang mereka alami. Namun, aktivitas yang ada di posko membuatnya merasa lebih baik. Ia berharap bencana ini segera berakhir agar kehidupan mereka kembali normal.

“Sekolah tetap ada meski di sekolah darurat, dan alat tulis juga disediakan, jadi kami tidak perlu repot mengambilnya di rumah yang dipenuhi abu gunung,” tutur dia.

Per 22 November 2024 pukul 20.00 WITA, data dari posko tanggap darurat mencatatkan jumlah pengungsi mencapai 12.962 jiwa.

Sebagian besar pengungsi tinggal di enam pos lapangan (poslap) dengan jumlah 5.599 jiwa, sementara sisanya tinggal di rumah warga atau keluarga mereka dengan jumlah 7.363 jiwa.

Sejak erupsi pada 3 November 2024, tercatat sembilan korban meninggal dunia dan empat orang terluka yang dirawat di RSUD Larantuka.

Poslap pengungsian yang dibangun oleh pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Sosial (Kemensos), TNI-Polri, serta para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya memiliki fasilitas yang cukup lengkap, seperti tenda pengungsian, dapur umum, fasilitas kesehatan, dan MCK.

Selain itu, hiburan edukatif yang dilengkapi dengan perangkat multimedia dan jaringan telekomunikasi juga sudah tersedia dengan baik berkat koordinasi antara Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) serta berbagai pihak terkait.