Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menyoroti kasus pemerkosaan kakak dan adik yang dilakukan oleh 13 orang selama satu tahun di Purworejo, Jawa Tengah. Nasir meminta Polda Jawa Tengah (Jateng) yang kini tengah menangani kasusnya untuk menerapkan UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang memastikan tak bisa ada perdamaian antara korban dan pelaku.

"Dalam kasus yang melibatkan anak di bawah umur dan telah tertunda penyelesaiannya hingga setahun, aparat penegak hukum harus menunjukkan keseriusannya untuk menjamin hak-hak korban terpenuhi," ujar Nasir Djamil dalam keterangannya, Sabtu, 2 November.

Seperti diketahui, kasus dugaan pemerkosaan terhadap kakak dan adik berinisial DSA (15) dan KSH (17) di Kabupaten Purworejo menuai perhatian publik. Keduanya diperkosa oleh 13 pria tetangganya dalam kurun waktu setahun dalam waktu dan kondisi yang berbeda-beda.

Dua dari 13 pelaku sempat digerebek warga ketika hendak memperkosa korban. Walau sudah tertangkap tangan, tapi pelaku tidak dihukum usai memperkosa kakak adik di Purworejo.

Akibat rangkaian pemerkosaan ini, DSA akhirnya hamil dan kini telah melahirkan. Kasus tersebut sempat tidak ditangani oleh Polres Purworejo karena keluarga korban dan pelaku menyelesaikan perkara tersebut secara kekeluargaan dengan difasilitasi pemerintah desa setempat.

Setelah kasus ini viral, Polda Jateng akhirnya mengambil alih kasus dan kini telah melakukan pemeriksaan kepada para saksi namun belum menetapkan tersangka.

Oleh karena itu, Nasir berharap aparat penegak hukum bisa serius mengusut kasus tersebut. Seharusnya, menurut Nasir, sejak awal aparat penegak hukum (APH) memakai UU TPKS yang mengatur tidak bisa ada perdamaian dalam kasus kekerasan seksual.

"Sekalipun mungkin kesepakatan akhirnya korban dan pelaku menikah, kasusnya harus tetap jalan,” tegasnya.

Nasir juga mengingatkan siapa saja yang melakukan pemaksaan pernikahan antara korban dan pelaku dapat dijerat pidana. Hal ini menyusul pengakuan korban yang menyatakan dipaksa menikah siri dengan salah satu pelaku pemerkosaan karena dirinya hamil.

“Ancaman hukuman bagi mereka yang memaksa korban kekerasan seksual menikah dengan pelaku bisa sampai 9 tahun penjara,” kata Nasir.

Nasir menyebut, penerapan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak saja tidak cukup dalam kasus ini. Apalagi korban juga dicekoki miras, diseret, dianiaya dan dipaksa melakukan persetubuhan.

Ada juga ancaman pelaku untuk menyebarkan video persetubuhan mereka sehingga membuat korban merasa takut. Selain itu, korban juga mengaku sempat disekap selama beberapa hari saat diperkosa, hingga dijual oleh pelaku ke pihak lain.

“Pasal yang bisa diterapkan banyak sekali. Selain TPKS dan perlindungan anak, bisa juga tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), penculikan, ancaman, penganiayaan, dan lain sebagainya,” sebut Nasir.

Oleh karenanya, anggota Komisi di DPR yang membidangi urusan penegakan hukum itu meminta Polda Jateng untuk mengevaluasi dan melakukan investigasi secara detil dalam penanganan kasus pemerkosaan kakak-adik itu. Nasir menyatakan, harus ada keadilan bagi kedua korban.

“Hukum harus berpihak bagi para korban kekerasan seksual. Kita minta keseriusan penegak hukum karena kasusnya juga sudah berlarut-larut lama,” pungkas Legislator dari Dapil Aceh II ini.

Adapun aturan mengenai hal itu tertuang dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU TPKS, berikut bunyinya:

Setiap Orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp200.000. 000,00 (dua ratus juta rupiah).

Termasuk pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

a. perkawinan Anak;

b. pemaksaan perkawinan dengan

mengatasnamakan praktik budaya; atau

c. pemaksaan perkawinan Korban dengan pelaku perkosaan.

Sementara aturan tentang tidak dimungkinkannya ada perdamaian antara korban dan pelaku kekerasan seksual diatur dalam Pasal 23 UU TPKS yang isinya:

Pasal 23

Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.