JAKARTA - Pengamat Hukum dari Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kurniawan menyatakan, hasil survei Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur NTB 2024 yang banyak beredar di masyarakat lebih menonjolkan kepentingan pasangan calon yang membayar.
"Saya juga mencermati, jadi saya melihat memang ini kan sekarang kepentingan. Ini yang saya lihat karena berdasarkan kepentingan akhirnya kepentingannya didahulukan. Artinya siapa yang bayar maka dia yang akan menang," kata Kurniawan dilansir ANTARA, Sabtu, 19 Oktober.
Dia mengungkapkan, hasil pengamatannya di berbagai grup media sosial, bahwa ada lembaga survei A menyampaikan hasil calon A menang, lembaga survei B yang menang calon B, begitu juga lembaga survei C hasilnya sama.
Hasil survei yang disajikan juga terlihat aneh. Sebab, hasil survei calon yang satu berbeda jauh dengan hasil survei calon lainnya.
Biasanya, menurut Kurniawan, hasil dari masing-masing lembaga survei tidak terlalu jauh perbedaan-nya karena memiliki margin eror.
Hal itu bisa dilihat pada hasil survei pemilihan calon presiden beberapa waktu lalu.
"Jadi itu yang saya lihat. Memang hasil survei itu potret saat ini, sehingga bisa saja kemudian berubah-ubah hasilnya. Tapi biasanya tidak terlalu besar turun atau naiknya. Kecuali ada hal-hal yang memang sangat luar biasa, seperti ada skandal atau setelah adu debat para calon," ujarnya.
Melihat fenomena hasil survei di Pilkada NTB 2024, Prof Kurniawan mengajak masyarakat untuk bersikap kritis dengan hasil survei yang disebar ke publik secara masif.
Masyarakat harus mengecek apakah lembaga yang mempublikasikan hasil survei tersebut kredibel dan memiliki izin.
Kemudian bagaimana metode yang digunakan, sebaran sampel-nya seperti apa dan sudah sesuai aturan atau tidak.
Jika lembaga survei tersebut ternyata tidak memiliki izin atau ilegal, dan tidak memenuhi persyaratan, baik dari lembaga profesi maupun dari lembaga pemerintah, maka produk yang dihasilkan sifatnya ilegal juga secara hukum.
"Masyarakat jangan terpengaruh, dan itu bisa saja diarahkan ke penyebaran berita bohong karena tidak dikeluarkan oleh lembaga kredibel atau lembaga yang legal," tegasnya.
BACA JUGA:
Semakin maraknya penyebaran hasil survei Pilkada NTB di masyarakat, Kurniawan mendorong agar lembaga profesi dan lembaga pemerintah, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk melakukan penertiban agar masyarakat terhindar dari informasi menyesatkan.
"Jadi prinsip-prinsip hukum secara umum, ketika kita merasa dirugikan, ketika kita merasa ditipu, ketika merasa dibohongi maka masyarakat punya hak untuk melakukan upaya hukum," katanya.