Bagikan:

JAKARTA - Calon Gubernur Jakarta Pramono Anung menilai Jakarta dan Ibu Kota Nusantara (IKN) tidak bisa dijadikan twin cities. Hal ini merespons usulan penerapan twin cities ketika masa transisi perpindahan Ibu Kota.

Sebab, menurut Pramono, biasanya konsep twin cities atau sister city diterapkan antara satu kota dalam negeri dengan kota lain di luar negeri.

"Memang ada transisi pemerintahan. Tapi, kalau ada twin cities menurut saya enggak bisa. Karena kalau pengalaman sister cities itu harusnya dengan di luar negeri. Masak ini dalam negeri?" ungkap Pramono ditemui di Cilandak, Jakarta Selatan, Senin, 14 Agustus.

Pramono menegaskan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota mengamanatkan pusat pemerintahan berpindah ke Nusantara.

Sementara, Jakarta diproyeksikan menjadi kota global dan pusat perekonomian setelah melepas status Ibu Kota. Karenanya, jika twin cities diterapkan, maka akan melanggar peraturan perundang-undangan.

"Jakarta sesuai undang-undang tidak menjadi twin city dengan IKN terutama, karena kedudukan IKN dalam undang-undang sudah jelas sekali bahwa IKN menjadi Ibu Kota negara, dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2024 Jakarta menjadi kota global dan pusat perekonomian nasional," urai dia.

Sebelumnya, Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI) mengusulkan konsep kota kembar atau twin cities untuk menjadi solusi rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN).

Ketua ASPI Adiwan Fahlan Aritenang menjelaskan, konsep twin cities berarti ada dua kota utama yang menjalankan fungsi-fungsi administrasi pemerintahan, di mana salah satunya menjadi ibu kota de jure dan lainnya de facto.

Ibu kota de jure berarti secara resmi diakui oleh undang-undang atau konstitusi sebagai pusat pemerintahan suatu negara.

Sementara secara de facto, pengakuan ibu kota lebih didasarkan pada realitas operasional fungsi pemerintahan yang sedang terjadi.

Dalam konteks Keputusan Presiden (Keppres) IKN belum ditandatangani namun negara memiliki anggaran yang cukup, maka Jakarta bisa berperan sebagai ibu kota de jure dan IKN de facto.

Artinya, secara undang-undang Jakarta tetap menjadi ibu kota, namun fungsi operasional dilakukan di IKN.

IKN dapat mengadopsi fungsi utama non-pemerintahan tertentu, seperti pusat edukasi dan riset, yang dibarengi dengan pemindahan bertahap sebagian fungsi publik pemerintahan dari kementerian/lembaga (K/L) yang relevan.

Misalnya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek); Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK); Perpustakaan Nasional; Arsip Nasional; dan sebagainya.

Sementara bila Keppres ditandatangani namun anggaran belum memadai, maka IKN menjadi ibu kota de jure dan Jakarta de facto.

Dalam hal ini, IKN diposisikan sebagai kota pusat pemerintahan nasional 'parsial' yang mengakomodasi sebagian kementerian pendukung fungsi inti pemerintahan, seperti Kementerian Sekretaris Negara (Kemensetneg), Sekretariat Kabinet, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Pertahanan (Kemenhan), dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu).

Adapun bila yang terjadi adalah kondisi tidak ideal, di mana Keppres tidak ditandatangani dan anggaran tidak memadai, maka negara bisa melakukan langkah mitigasi dengan tetap mendorong penerapan rencana IKN, namun sebagai strategi jangka panjang hingga 2045.

Seiring dengan itu, pemerintah dapat melakukan peninjauan ulang dan mendalam terhadap aspek-aspek perencanaan IKN, seperti pembangunan infrastruktur, populasi, dan biaya.

"Jadi, kami menyarankan agar fokus pada calon ibu kota negara yang fokus pada liveable dan loveable city yang layak untuk ditinggali sambil berprogres hingga ke tahun 2045," ujar Adiwan, Jumat, 11 Oktober.