JAKARTA - Serangan besar-besaran yang dilakukan oleh afiliasi jaringan Al Qaeda di ibu kota Mali pekan ini menewaskan sekitar 70 orang.
Militan menyerang akademi pelatihan polisi elite dan bandara pada Selasa, 17 September, menunjukkan kemampuan mereka untuk menyerang jantung ibu kota Mali. Negara ini sedang memerangi pemberontakan yang terjadi lebih dari satu dekade lalu di wilayah utara yang gersang.
Skala serangan tersebut semakin melemahkan klaim junta yang berkuasa keamanan telah membaik sejak junta mengusir pasukan Prancis dan AS, dan beralih ke Rusia demi keamanan.
Dua diplomat yang bertugas di wilayah tersebut, termasuk satu yang berbasis di Bamako, mengatakan jumlah korban tewas diyakini berjumlah 70 orang.
Reuters tidak dapat memverifikasi angka-angka tersebut secara independen.
Diplomat ketiga yang berbasis di wilayah tersebut mengatakan ratusan orang diyakini tewas dan terluka, dan rumah sakit kehabisan tempat tidur untuk merawat para korban yang selamat.
Sejak konflik di Mali meletus, kekerasan telah menyebar ke negara-negara tetangga di wilayah Sahel dan mencapai negara-negara pesisir utara. Ribuan orang terbunuh dan jutaan orang mengungsi di wilayah tersebut, dan beberapa pejuang bersekutu dengan Al Qaeda atau ISIS.
BACA JUGA:
Serangan pada Selasa diklaim oleh afiliasi Al Qaeda Jama'a Nusrat ul-Islam wa al-Muslimin (JNIM).
Junta yang berkuasa di Mali mengatakan pihaknya menderita sejumlah kerugian, tanpa memberikan rincian lebih lanjut. Surat kabar Mali melaporkan pemakaman sekitar 50 taruna polisi digelar pada Kamis, 19 September.
Serangan itu terekam dalam video yang dipublikasikan di media sosial yang menunjukkan pemberontak membakar jet kepresidenan dan mayat-mayat di akademi kepolisian.