Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Fraksi PDIP Arteria Dahlan tidak sepakat dengan Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia yang mengatakan pihaknya akan mengevaluasi posisi Mahkamah Konstitusi (MK) lantaran dinilai terlalu mengurusi urusan yang bukan menjadi kewenangannya.

Menurut Arteria, evaluasi MK oleh DPR hanya akan menimbulkan gejolak, seperti apa yang terjadi terkait pengesahan RUU Pilkada beberapa waktu lalu. 

"Saya pikir sangat tidak tepat merevisi undang-undang MK di saat seperti ini. Apalagi di saat MK dalam posisi menegakkan demokrasi, mengawal konstitusi. Saya katakan ini sangat beresiko. Beresiko kenapa? Jangan sampai nanti akan ada timbul gejolak baru," ujar Arteria, Jumat, 30 Agustus.

"Kita ini kalau mau mengubah undang-undang yang sangat sensitif, harusnya dilakukan dengan penuh kecermatan dan penuh kehidmatan. Kita juga sensitif terhadap rasa keadilan dan situasi yang sedang ada pada saat ini," sambungnya. 

Arteria menilai, putusan MK kemarin justru menjadikan demokrasi lebih terbuka lebar. Hal itulah, menurutnya, yang diinginkan rakyat. 

Karenanya dia mempertanyakan sikap Komisi II DPR apabila ingin merevisi UU MK. Justru, Arteria menilai, DPR dan pemerintah harus segera bertobat. 

"Saya menyarankan saat ini kita melakukan tobat nasuha, semuanya tobat, presidennya tobat, ya DPR-nya juga tobat," tegas Legislator dapil Jawa Tengah itu. 

"Rakyat memberikan kesempatan untuk kita kembali, kita semua ini kembali untuk berbuat baik, Apa? Buat undang-undang dengan benar, dengan prosedural, dengan penuh kecermatan, penuh kehidmatan. Apa? Melaksanakan pemerintahan sesuai dengan undang-undang dasar, sesuai dengan undang-undang. Kalau kesempatan ini kita tidak pergunakan, saya khawatir nanti rakyat mengambil jalannya sendiri atau mencari jalannya sendiri, Baik dalam konteks mencari keadilan atau melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan," beber Arteria.

Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan bahwa lembaganya akan mengevaluasi posisi Mahkamah Konstitusi dalam jangka menengah dan panjang karena dianggap mengerjakan banyak urusan yang bukan menjadi kewenangannya.

“Nanti kami evaluasi posisi MK karena memang sudah seharusnya kami mengevaluasi semuanya tentang sistem, mulai dari sistem pemilu hingga sistem ketatanegaraan. Menurut saya, MK terlalu banyak urusan yang dikerjakan, yang sebetulnya bukan urusan MK," kata Doli dikutip dari Antara, Kamis, 29 Agustus. 

Menurut Doli, salah satu contohnya mengenai pilkada. Seharusnya, kata dia, MK meninjau ulang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi akhirnya MK turut masuk pada hal-hal teknis, sehingga dianggap melampaui batas kewenangannya.

"Di samping itu, banyak putusan-putusan yang mengambil kewenangan DPR selaku pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang itu hanya Pemerintah dan DPR, tetapi seakan-akan MK menjadi pembuat undang-undang ketiga,” ujarnya.

Dia mengatakan DPR akan mengubah hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan karena putusan MK bersifat final dan mengikat.

"Akibatnya, putusan MK memunculkan upaya politik dan upaya hukum baru yang harus diadopsi oleh peraturan teknis, seperti halnya dengan putusan kemarin. Akan tetapi, ketika DPR mau mendudukkan yang benar sesuai undang-undang, muncul demonstrasi mahasiswa dan kecurigaan,” katanya.

“Oleh karena itu, kami perlu melakukan penyempurnaan semua sistem, baik pemilu, kelembagaan dan ketatanegaraan,” pungkasnya.