Bagikan:

JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Harvey Moeis mengondisikan 27 pemilik smelter swasta untuk menyetorkan biji timah sebesar 5 persen dari kuota ekspor ke PT Timah Tbk.

Pengondisian itu sebagai tindak lanjut dari permintaan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah Tbk, dan Alwin Albar selaku Direktur Operasi dan Produksi PT Timah Tbk.

"Terdakwa Harvey Moeis dengan sepengetahuan Suparta selaku Direktur Utama PT Refined Bangka Tin dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT Refined Bangka Tin mewakili PT Refined Bangka Tin mengadakan pertemuan dengan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah Tbk, dan Alwin Albar selaku Direktur Operasi dan Produksi PT Timah Tbk dan 27 pemilik smelter swasta untuk membahas permintaan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Alwin Akbar atas bijih timah sebesar 5 persen dari kuota ekspor smelter smelter swasta tersebut karena bijih timah yang diekspor oleh smelter smelter swasta tersebut merupakan hasil produksi yang bersumber dari penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk," papar jaksa dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 14 Agustus.

Pengodisian itu bermula saat Suranto Wibowo yang merupakan Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung periode 2015-2019 menyetujui Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) periode 2015-2019 ilegal terhadap 5 (lima) perusahaan smelter.

Hanya saja, RKAB itu digunakan sebagai formalitas untuk mengakomodir pengambilan dan pengelolaan bijih timah secara ilegal dari wilayah IUP PT Timah Tbk.

RKAB itu seharusnya digunakan sebagai dasar untuk melakukan penambangan di wilayah IUP masing-masing perusahaan smelter dan afiliasinya bukan sebagai legalisasi untuk pengambilan dan mengelola bijih timah hasil penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk.

Lima perusahaan smelter itu antara lain PT Refined Bangka Tin beserta perusahaan afiliasinya, CV Venus Inti Perkasa beserta perusahaan afiliasinya, PT Sariwiguna Binasentosa beserta perusahaan afiliasinya, PT Stanindo Inti Perkasa beserta perusahaan afiliasinya, dan PT Tinindo Internusa beserta perusahaan afiliasinya.

Dengan dasar itu, Harvey Moeis yang merupakan perwakilan PT Refined Bangka Tin menghubungi smelter lainnya pada Agustus 2018. Tujuannya agar bekerja sama dengan PT Timah Tbk.

Pada 2019, pemilik empat smelter itu mengetahui tidak akan mendapatkan persetujuan RKAB. Kemudian mereka mengusulkan kepada PT Timah Tbk untuk dibuatkan suatu kesepakatan agar bijih timah ilegal milik smelter swasta dapat dijual dan dilakukan pemurnian serta pelogaman tapi syarat pembayaran semuanya harus dilakukan PT Timah.

Akhirnya, kesepakatan terbentuk dan ditindaklanjuti dengan beberapa kali pertemuan antara pihak smelter dan PT Timah Tbk. Padahal, kata jaksa, kerja sama itu tak termuat dalam rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP) PT Timah Tbk tahun 2018.

Salah satu kesepakatannya yakni harga sewa peralatan processing pelogaman timah sebesar USD 3.700 per ton SN di luar harga bijih timah yang harus dibayar oleh PT Timah Tbk kepada CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Tinindo Internusa, PT Sariwiguna Binasentosa.

Sementara itu, khusus PT Refined Bangka Tin yakni smelter yang diwakili Harvey diberi penambahan insentif sebesar USD 300 per ton SN sehingga nilai kontrak khusus untuk PT Refined Bangka Tin menjadi sebesar USD 4.000 per ton SN.

Harga sewa kesepakatan peralatan processing pelogaman timah itu dibuat tanpa kajian atau feasibility study dengan kajian yang dibuat tanggal mundur (back date). Di mana, Harvey Moeis inisiator dari kerja sama sewa peralatan processing tersebut.

"Terdakwa Harvey Moeis menginisiasi kerja sama sewa alat processing untuk pelogaman Timah smelter swasta yang tidak memiliki competent person atau CP antara lain CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Tinindo Internusa dengan PT Timah Tbk," sebut jaksa.

Jaksa mengatakan program kerja sama sewa peralatan processing pelogaman timah PT Timah Tbk dengan lima smelter itu hanyalah modus semata yang harga sewanya jauh melebihi nilai HPP smelter PT Timah.

Selanjutnya, Harvey juga meminta pihak-pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan yang seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR).

"Terdakwa Harvey Moeis dengan sepengetahuan Suparta selaku Direktur Utama PT Refined Bangka Tin dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT Refined Bangka Tin meminta kepada CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Tinindo Internusa untuk melakukan pembayaran biaya pengamanan kepada terdakwa Harvey Moeis sebesar USD 500 sampai dengan USD 750 per ton, yang seolah olah dicatat sebagai corporate social responsibility (CSR) yang dikelola oleh terdakwa Harvey Moeis atas nama PT Refined Bangka Tin," kata jaksa.

Jaksa mengatakan Harvey Moeis dan smelter swasta lainnya yang bekerja sama dengan PT Timah Tbk membuat 12 perusahaan cangkang atau perusahaan boneka.

Perusahaan boneka itu membeli bijih timah dari penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah berdasarkan Surat Perintah Kerja (SPK) Jasa Barang Pengakutan yang diterbitkan PT Timah Tbk.

"Terdakwa Harvey Moeis dengan sepengetahuan Suparta selaku Direktur Utama PT Refined Bangka Tin dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT Refined Bangka Tin bersama smelter swasta yaitu CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Tinindo Internusa menyepakati dengan PT Timah untuk menerbitkan surat perintah kerja (SPK) di wilayah ijin usaha penambangan atau IUP PT Timah Tbk dengan tujuan melegalkan pembelian bijih timah oleh pihak smelter swasta yang berasal dari penambangan ilegal di IUP PT Timah Tbk," tutur jaksa.

Harvey Moeis sebagai perwakilan PT Refined Bangka Tin bersama Suparta selaku Direktur Utama PT Refined Bangka Tin periode 2018, dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT Refined Bangka Tin periode 2017, melakukan penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk.

Tindakan itupun dapat terlaksana karena adanya pembiaran yang dilakukan pihak PT Timah Tbk dan Dinas ESDM Provinsi Bangka Belitung.

Pembiaran itu dilakukan oleh Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah Tbk periode 2016-2021, Emil Ermindra selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk periode 2016-2020, Alwin Albar selaku Direktur Operasi dan Produksi PT Timah Tbk periode April 2017-Februari 2020, Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung periode 2015-2019 Suranto Wibowo, Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung 2021-2024 Amir Syahbana, Plt Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung Maret 2019 Rusbani, serta Bambang Gatot Ariyono selaku Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM periode 2015-2020.

Selain Harvey Moeis, penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah juga dilakukan oleh Robert Indarto melalui PT Sariwiguna Binasentosa, Tamron alias Aon, Achmad Albani, Kwan Yung alias Buyung dan Hasan Tjhie alias Asin melalui CV Venus Inti Perkasa, Suwito Gunawan alias Awi dan M.B Gunawan melalui PT Stanindo Inti Perkasa, Hendry Lie, Fandy Lingga dan Rosalina melalui PT Tinindo Internusa, yang tidak tertuang dalam RKAB PT Timah Tbk maupun RKAB 5 (lima) smelter beserta perusahaan afiliasinya.

Penambangan ilegal itu mengakibatkan kerusakan lingkungan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan dalam wilayah IUP PT Timah Tbk, berupa kerugian ekologi, kerugian ekonomi lingkungan, dan pemulihan lingkungan.

Tindakan tersebut merugikan keuangan negara sebesar Rp 300 triliun. Nilai kerugian itu akibat dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022.

"Yang merugikan Keuangan Negara sebesar Rp300.003.263.938.131,14 berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara," kata jaksa.

Dalam perkara ini, Harvey Moeis didakwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 Tahun 2010 tentang TPPU.