Bagikan:

JAKARTA - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Sulawesi Utara (Sulut), Djafar Alkatiri mempertanyakan agenda perubahan yang digagas Yorrys Raweyai dan pendukungnya untuk DPD RI ke depan.

Jika muatannya politis, Djafar meminta Yorrys Cs untuk menghentikan gaya-gaya premanisme agar tidak menimbulkan kegaduhan yang dapat merusak citra DPD RI.

"Sejumlah anggota DPD yang mendukung Yorrys, mengklaim sebagai 'Kelompok DPD Pro Perubahan'. Pertanyaannya, mau berubah seperti apa? Memasukan gaya-gaya premanisme dalam memuluskan agenda politik di DPD?" ujar Djafar kepada wartawan, Senin, 29 Juli.

Menurut Djafar, manuver politik yang dilakukan Yorrys di DPD justru membuka memori publik atas kegaduhan yang pernah dilakukan mantan politisi Partai Golkar itu di DPR pada 2015 lalu. Saat itu, ungkap Djafar, Yorrys mempertontonkan gaya premanismenya dalam upaya penguasaan Sekretariat Fraksi Golkar di DPR.

"Dia memaksa masuk, merusak pintu Fraksi Partai Golkar di DPR, untuk melakukan penguasaan. Apakah cara-cara seperti ini yang dimaksud Yorrys sebagai agenda perubahan di DPD ke depan," sindir mantan Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara ini.

Sama seperti kericuhan saat Paripurna DPD pada Jumat, 12 Juli lalu, lanjut Djafar, Yorrys juga menjadi salah aktornya. Dia menyayangkan, senator asal Papua itu justru memperkeruh suasana dengan memfitnah pimpinan DPD RI sebagai otoriter dan diktator.

Padahal, kata Djafar, Sidang Paripurna DPD hanya memutuskan Panita Perancang Undang-Undang (PPUU) untuk melakukan harmonisasi terhadap materi Tatib. Keputusan tersebut, merupakan kolaborasi seluruh pimpinan dan anggota DPD dalam menyelesaikan persoalan.

"Pernyataan Yorrys yang memposisikan lembaga DPD seperti milik perorangan atau pimpinan, sangat menyesatkan. Kita tahu, kepemimpinan di DPD bersifat kolektif kolegial dan kolaboratif, melibatkan empat pimpinan dan semua anggota," tegasnya.

Djafar mempersilakan Yorrys dan sejumlah pendukungnya untuk mencalonkan diri sebagai pimpinan DPD RI periode 2024-2029. Namun, Djafar meminta agar Ketua Komite II DPD itu juga mematuhi aturan perundang-undangan, berpegang pada etika dan mekanisme organisasi kelembagaan.

"Dalam Tatib itu, ada pasal yang menyatakan, calon pimpinan harus orang yang tidak pernah mendapat sanksi dari Badan Kehormatan (BK) DPD. Pasal menjadi persoalan, karena ada yang pernah mendapat sanksi etik dari BK, tapi tetap ingin mencalonkan diri," jelasnya.

Djafar menilai, kehadiran pasal tersebut dalam Tatib DPD merupakan hal wajar dan normal. Bahkan, menurutnya, pasal itu baik untuk menjaga marwah dan kredibilitas lembaga di mata publik.

"Itu juga bukan aturan baru, sudah ada sebelumnya. Kalau sekarang dipersoalkan, seluruh anggota DPD dan publik bisa memahami, bahkan mencurigai adanya upaya penyusupan kepentingan di lembaga DPD," kata Djafar.

Sebelumnya, Ketua Komite II DPD RI, Yorrys Raweyai menyatakan kericuhan dalam Sidang Paripurna DPD, di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Jum'at, 12 Juli, lalu terjadi lantaran gaya kepemimpinan La Nyalla Mattalitti dan Nono Sampono. Menurut Yorrys, kedua pimpinan DPD itu telah memberikan contoh pimpinan yang otoriter dan eksklusif.

"Ini adalah respons mayoritas anggota DPD, yang tidak lagi bisa dibendung. Kekecewaan demi kekecewaan akibat gaya kepemimpinan otoriter dan tertutup Pak La Nyalla dan Pak Nono sudah terakumulasi sejak lama, hingga memunculkan resistensi yang memuncak”, kata Yorrys dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, 16 Juli.

Senator dapil Papua itu menambahkan, sejak awal seluruh anggota DPD menaruh harapan besar pada pimpinan DPD untuk membawa perubahan bagi kelembagaan DPD ke arah yang lebih baik. Namun menurut Yorrys, perubahan tak kunjung terwujud, bahkan DPD dikelola dengan persepsi sendiri, tertutup, dan intimidatif.

"Pak La Nyalla dan Pak Nono telah memposisikan lembaga DPD seperti milik sendiri, di mana suara dan aspirasi kritis dan berbeda dari para anggota cenderung diabaikan. Puncak dari keresahan para anggota DPD itu, ditumpahkan pada Paripurna DPD kemarin," tandasnya.