JAKARTA - Presiden Taiwan Lai Ching-te menyatakan hanya kekuatan militer yang dapat menjaga perdamaian dengan China. Dia menegaskan, rakyat Taiwan tidak akan menyerah pada tekanan China.
Lai mengatakannya usai Amerika Serikat (AS) menyetujui percepatan paket senjata di kantor kepresidenan di Taipei, Rabu 19 Juni waktu setempat.
China yang menganggap Taiwan bagian dari wilayahnya diketahui latihan militer dua hari setelah Lai resmi dilantik jadi presiden pada Mei 2024. Latihan militer di sekitar perairan Taiwan disebut China sebagai "hukuman' atas pidato pelantikan Lai yang dituding penuh dengan konteks kemerdekaan.
Setahun berlalu, Lai dalam pidato politiknya menyebutkan negaranya cinta perdamaian. Namun, perlu digarisbawahi kekuatan militer Taiwan memiliki garis lurus pada kesuksesan akan kedamaian tersebut.
“Tetapi perdamaian harus bertumpu pada kekuatan, artinya menghindari perang dengan mempersiapkan perang untuk mencapai perdamaian. Janji kosong bukanlah perdamaian sejati,” ujar Lai, dikutip dari Reuters, Rabu 19 Juni.
BACA JUGA:
Lai mengingatkan kembali akan kebijakan nasional China yang disebutnya berusaha mencaplok Taiwan.
“Selain menggunakan kekerasan, dalam beberapa tahun terakhir, mereka [China] bahkan menggunakan tindakan koersif non-tradisional untuk memaksa Taiwan menyerah. Namun Taiwan tidak akan menyerah,” kata Lai.
Lai menjelaskan, cara-cara pemaksaan China terhadap Taiwan tersebut, termasuk mencegah partisipasi Taiwan dalam badan-badan dan acara-acara internasional, melarang atau mengenakan pajak berat terhadap ekspor tertentu ke China, dan taktik “zona abu-abu” seperti menerbangkan balon di atas pulau tersebut.
Adapun Badan Kerja Sama Keamanan Pertahanan Pentagon mengatakan Departemen Luar Negeri AS telah menyetujui penjualan drone dan rudal ke Taiwan dengan nilai sekitar 486 juta dolar.
Upaya AS memberi sarana Tauwan untuk mempertahankan diri secara berkelanjutan meski tidak ada hubungan diplomatik yang formal memicu kemarahan China.