Bagikan:

JAKARTA - Uang kuliah tunggal (UKT) saat ini tengah menjadi isu polemik nasional yang semakin aktif di masyarakat, khususnya kalangan mahasiswa yang berkuliah di perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH).

Bahkan, terjadi gelombang protes terhadap mahalnya biaya kuliah dan penolakan kenaikan tersebut dilakukan di berbagai universitas seperti Unsoed, USU, dan Unri.

Menanggapi hal ini, Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek, Prof Abdul Haris mengatakan pimpinan perguruan tinggi seyogianya berhati-hati dan bijaksana dalam menetapkan besaran UKT mahasiswa dengan mencari titik temu antara kesediaan membayar (willingness to pay) dengan kemampuan membayar (ability to pay).

Selain itu, pemerintah juga mendorong kepada PTN dan PTNBH untuk membangun pendekatan dialogis yang humanis. Kampus harus menunjukkan keberpihakan yang nyata kepada masyarakat. Komunikasi yang harmonis antara perguruan tinggi dengan mahasiswa, orang tua, dan wali adalah kunci untuk saling bernegosiasi dan berkompromi.

"Kami yakin bahwa pada dasarnya seluruh pihak ingin memberikan kontribusi dan sumbangsih yang terbaik bagi almamater kebanggaannya," ucap Abdul.

Menurutnya, kebijakan PTNBH dan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) merupakan solusi yang baik. Hal ini menjadi kebijakan win-win solution yang ditawarkan kepada para mahasiswa agar satu sisi kampus tetap otonom, namun biaya UKT masih wajar.

Pertama, PTNBH menjamin otonomi kampus dan memberikan peluang kepada perguruan tinggi untuk mencari pendanaan secara kreatif, tidak melulu tergantung kepada APBN atau uang kuliah mahasiswa.

Kedua, MBKM mendorong kemitraan strategis yang lebih erat antara universitas dengan dunia usaha dan dunia industri, sehingga terjadi resource sharing yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Selain itu, terdapat berbagai program flagship MBKM yang didanai oleh Kemendikbudristek sehingga turut menurunkan beban operasional pendidikan kampus.

"Penentuan status PTNBH dilakukan secara cermat oleh Kemendikbudristek melalui kajian yang panjang dan mendalam untuk memastikan kelayakan dan kesiapan perguruan tinggi menjalankan otonomi yang lebih luas, supaya mampu meningkatkan daya saing di tingkat nasional dan global," ungkap mantan Wakil Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Indonesia (UI) itu.

Kajian tersebut setidaknya mencakup aspek kualitas penyelenggaraan akademik, kontribusi bagi pembangunan, efektivitas dan efisiensi tata kelola organisasi, serta komitmen perguruan tinggi terhadap keberlangsungan seluruh aspek tersebut.

Selain itu, Kemendikbudristek senantiasa memantau dan mengevaluasi kinerja PTNBH secara cermat, salah satunya melalui instrumen indikator Kinerja Utama guna menilai kinerja dan efektivitas tata kelola internal perguruan tinggi.

"Apabila kami menemukan masalah dan kendala yang dihadapi oleh kampus tertentu, kami Kemendikbudristek fokus pada penyelesaian persoalan-persoalan tersebut dengan menerapkan praktik baik yang terbukti berhasil di PTNBH lainnya," pungkas Prof Abdul Haris.

"Satu-satunya cara untuk meredam polemik tersebut adalah dengan memastikan hadirnya prinsip keadilan atau fairness bagi seluruh pihak. Oleh karena itu, kami telah mengimbau kepada PTN dan PTNBH untuk memastikan pemenuhan asas berkeadilan dalam penetapan UKT di kampus," katanya