JAKARTA - Kepala Seksi Analisis Intelijen Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI Leebarty Taskarina mengatakan, patriarkisme memiliki andil cukup besar dalam penyebaran paham radikal pada kaum perempuan di Tanah Air.
Hal itu sebagaimana temuan studinya yang mencatat bahwa dari 20 perempuan pelaku terorisme, ajakan keluarga, khususnya pasangan/suami dan saudara laki-laki, menjadi salah satu penyebab terbesar perempuan terlibat aksi teror.
"Parahnya lagi, perbuatan keji yang dilakukan perempuan itu dianggap sebagai sebuah bentuk ketaatan kepada suaminya. Hal ini juga menandakan bahwa aksi teror yang dilakukan perempuan tidak bisa lepas dari pengaruh dominasi laki-laki terhadapnya," kata Leebarty dalam keterangannya, Jumat 8 Maret, disitat Antara.
Menurut dia, paradigma masyarakat Indonesia secara umum masih cenderung membatasi kesempatan perempuan untuk mengembangkan diri sehingga dipandang sebagai suatu kesempatan oleh jaringan teror.
Kelompok radikal dan jaringannya, lanjut dia, seolah-olah memberi kesempatan bagi perempuan untuk bisa setara dengan laki-laki dan berada di garis terdepan perjuangan agama sehingga memberi daya tarik tersendiri bagi kaum hawa.
"Oleh karena itu, agensi dan semiotonomi perempuan dalam aktivitas terorisme sejatinya dilatari pengalaman penindasan, viktimisasi, manipulasi, dan mistifikasi yang mendahului yang seluruhnya berakar dari budaya patriarki," ujarnya.
BACA JUGA:
Leebary menekankan pentingnya edukasi yang lebih komprehensif agar perempuan Indonesia mengerti bahwa jihad semestinya tidak didefinisikan begitu saja tanpa konteks ruang, waktu, dan tujuan.
Sebaliknya, penting ditanamkan pemahaman bahwa terorisme tidak berada dalam satu napas dengan pemaknaan jihad, bahkan dapat direalisasikan dengan cara-cara positif dan sederhana dalam kehidupan perempuan sehari-hari.
Dia mengatakan bahwa BNPT hadir untuk ikut menentukan arah kebijakan nasional yang nantinya akan menghasilkan penurunan angka keterlibatan perempuan dalam gerakan teror dengan melakukan pendekatan dari berbagai aspek, mulai dari ideologi, psikososial, ekonomi, dan regulasi.
Mengenai aspek regulasi, dia menggarisbawahi bahwa BNPT segera merumuskan kebijakan yang menjangkau pengalaman khas perempuan dan tidak menyamaratakan kebijakan pencegahan atau penanganan dengan mengabaikan aspek gender di dalamnya.
"Hentikan penyebaran misoginisme (kebencian kepada perempuan) di media karena ini justru mempromosikan kebencian terhadap perempuan yang terjebak dalam radikalisme. Kita harus menyiapkan lingkungan yang mendukung perempuan untuk mengembangkan karier dan kehidupannya tanpa penghakiman sepihak. Dengan tingkat pendidikan yang matang, pada akhirnya perempuan memiliki resistensi tinggi terhadap proses radikalisasi dan bisa berkontribusi membangun Indonesia yang lebih toleran serta damai," kata dia.