Bagikan:

JAKARTA – Dewan Pembina Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) UII, Despan Heryansyah menilai Mahkamah Konstitusi bersikap inkonsisten dalam memutuskan perubahan ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT).

Pasalnya, MK sama sekali tidak menyentuh urusan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Padahal, presidensial threshold bertalian erat dengan parliamentary threshold.

“Dari logika yang sama, sejatinya juga bisa digunakan oleh MK dalam konteks presidential threshold. Mengapa sampai hari ini MK masih tetap bersikukuh dengan ambang batas 20 persen, padahal pintu masuknya sendiri, yaitu parliamentary threshold sudah diubah,” ujarnya, Minggu 3 Maret 2024.

Dia mengaku sepakat dengan MK yang memutuskan kebijakan baru mengenai ambang batas parlemen diterapkan di pemilu berikutnya. Sebab terlebih dahulu akan ditentukan besarannya oleh pembentuk undang-undang. Dengan begitu, revisi ambang batas parlemen 4 persen ditargetkan tuntas sebelum penyelenggaraan Pemilu 2029.

“Terkait dengan keberlakuan putusan ini, saya setuju dengan MK, harus ketentuan atau norma ini memang diberlakukan ke depan, bukan ke belakang, UU tidak dapat berlaku surut, itu jaminan konstitusi,” tukasnya.

Tapi, lanjut Despan, yang menjadi pertanyaan publik adalah kenapa MK tak bersikap sama untuk putusan batas usia capres/cawapres. Patut diingat, MK menyatakan putusan tersebut justru langsung berlaku di Pilpres 2024 bukan di Pilpres 2029.

“Yang bermasalah justru pada putusan batas usia cawapres, mengapa diberlakukan langsung di tahun 2024? Padahal proses pemilu sudah dimulai,” imbuhnya.

Despan menyatakan, dengan berbagai catatan itu, MK sebenarnya menampilkan inkonsistensi yang dapat dilihat masyarakat. “Dampaknya masyarakat melihat MK tidak konsisten. Inkonsistensi ini bisa dilihat dengan mata telanjang, jadi MK tidak bisa berkilah,” tutupnya.