Bagikan:

PASURUAN - Petaka runtuhnya atap kelas SDN Gentong, Gading Rejo, Pasuruan menyebabkan seorang guru dan satu siswi meninggal dunia. Sebelas lain dirawat karena luka-luka. Kini, hal lain yang perlu disoroti adalah penanganan trauma korban selamat, terutama anak-anak.

Irza Almira, siswi kelas II-A (8) dan gurunya, Sefina Arsi Wijaya (19) meninggal dalam petaka itu. Menurut kesaksian Anti, seorang guru yang tengah mengajar di kelas II-B, atap kelas runtuh bertahap dimulai dari sisi selatan.

"Tiba-tiba ada suara kaya tsunami. Ambruknya berjalan dari selatan," katanya dikutip Detikcom, Rabu (6/11/2019).

Beberapa saksi mata mengungkap keterkejutan yang sama. Kebanyakan dari mereka tak menyangka atap itu bisa runtuh. Budi Santoso, petugas kebersihan sekolah menggambarkan pecahnya jeritan dan tangisan ketika siswa dan pengajar berhamburan keluar dari ruang kelas.

Ahmad Eksan, seorang warga sekitar mengungkap setidaknya ada 13 orang yang terkurung dalam reruntuhan atap. "Saya sempat menolong tadi. Ada sekitar 13 yang tak bisa keluar. Kemudian ditolong," terangnya.

Kepala Seksi Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kota Pasuruan Firman mengatakan, sekolah akan diliburkan selama empat hari. Senin 11 November 2019 mendatang, kegiatan belajar mengajar mulai aktif kembali.

"Diliburkan hingga Sabtu. Minggu kan otomatis libur. Senin aktif lagi," kata Firman.

Terkait runtuhnya atap di empat ruang kelas, Dinas Pendidikan Kota Pasuruan akan berkoordinasi dengan otoritas terkait untuk mencari solusi soal pengganti ruang belajar siswa.

Mengobati trauma

Psikolog klinis forensik, Kasandra Putranto menyoroti pendekatan untuk mengobati trauma para korban, terutama anak-anak. Dan pendekatan itu bukan perkara main-main.

Otoritas harus memfasilitasi pemeriksaan psikologis di samping pemeriksaan medis. Setiap korban harus melalui pemeriksaan psikologis untuk mengetahui tingkatan trauma yang dialami masing-masing.

"Setiap orang memiliki profil psikologis yang menentukan daya tahan terhadap stres yang berbeda," tutur Kasandra dihubungi VOI, Rabu (6/11/2019).

"Harus ada assessment terlebih dahulu ... Kemudian baru disusun langkah-langkah intervensi yang akan dilakukan. Seberapa lamanya pun sangat relatif. Tergantung hasil assessment," tambahnya.

Menurut Kasandra, otoritas tak bisa hanya fokus mengembalikan kegiatan belajar mengajar, tapi juga wajib menumbuhkan kembali rasa aman bagi para korban. Tak ada tawar menawar soal itu.

Tanpa pemulihan terhadap trauma, para siswa tak akan mampu menumbuhkan kembali rasa aman. Dan tanpa rasa aman, mustahil proses belajar mengajar yang berkualitas dapat diwujudkan.

"Sangat penting tentunya (pemulihan trauma). Kita berharap bahwa dalam proses belajar mengajar anak Indonesia dapat dipastikan unsur keamanan dan menghindari hal-hal seperti ini," kata Kasandra.