JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memastikan pelayanan dan akses kesehatan serta kondisi penjara mendiang mantan Gubernur Papua Lukas Enembe telah memenuhi standar.
Hal itu disampaikan Mahfud untuk menanggapi pertanyaan di masyarakat mengenai pelayanan dan akses kesehatan, serta kondisi penjara selama Lukas menjalani masa pidana hingga meninggal dunia.
"Enggak, itu sudah memenuhi standar semua. Kan ketika dimasukkan sudah ada Kementerian Kesehatan, ada TNI, ada BIN, ada polisi, semuanya sudah gabung. Saya yang memimpin rapatnya. Kesehatan harus di nomor satu, kan?" kata Mahfud di Sukabumi, Jawa Barat, dilansir ANTARA, Rabu, 27 Desember.
“Kalau ada yang tidak percaya, silakan saja dicek. Kalau pemerintah sudah benar itu."
Mahfud juga mengatakan langkah pemerintah terhadap mantan Gubernur Papua dua periode tersebut turut dipengaruhi oleh penyakit yang diderita oleh Lukas.
"Dan memang penyakitnya memang sudah lama begitu, kan? Sehingga kita memberi pelayanan khusus, diangkut dengan pesawat khusus, setiap mau ke rumah sakit kita layani, dokternya silakan milih sendiri. Tetapi, jangan keluar wilayah Indonesia," ujarnya.
"Itu sudah benar dan memang sakitnya sudah lama. Sudah bertahun-tahun juga," kata Mahfud.
BACA JUGA:
Mantan Gubernur Papua dua periode sekaligus terpidana kasus korupsi Lukas Enembe meninggal dunia saat menjalani perawatan di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Selasa (26/12).
Kepala RSPAD Gatot Soebroto Letnan Jenderal TNI dr. Albertus Budi Sulistya membenarkan kabar wafatnya Lukas Enembe pada pukul 10.45 WIB.
"Benar, (meninggal dunia) pukul 10.45 WIB," kata Kepala RSPAD saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Selasa (26/12).
Mengenai kasusnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis mantan Gubernur Papua Lukas Enembe menjadi pidana penjara selama 10 tahun, denda sebesar Rp1 miliar subsider pidana kurungan empat bulan, serta membayar uang pengganti sebesar Rp47,8 miliar.
Lukas Enembe, pada persidangan tingkat pertama, divonis 8 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider empat bulan penjara.