Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menuai kritikan. 

Penyebabnya Mahfud menggunakan contoh kasus pemerkosaan untuk menjelaskan konsep restorative justice saat menjadi pembicara pada rapat pimpinan (Rapim) Polri, Rabu, 17 Februari.

"Misalnya ada Siti diperkosa, kalau mau hukum tegas pemerkosa tangkap masuk ke pengadilan selesai. Tapi restorative justice tidak bicara itu. Restorative justice bilang, kalau kita tangkap Amir sebagai pemerkosa lalu diumumkan bahwa dia memperkosa Siti, keluarga Siti hancur," ungkap eks Ketua Mahkamah Konstitusi ini.

"Maka sebab itu, dulu di hukum adat ada istilah diam-diam saja kamu lari biar orang tidak tahu. Makanya dulu ada kawin lari. Itu restorative agar orang tidak ribut. Apa yang diperkosa tidak malu kepada seluruh kampung, kawin di luar daerah sana, itu contoh restorative justice. Membangun harmoni," imbuh Mahfud.

Soal pernyataan Mahfud mencontohkan kasus pemerkosaan ini ditanggapi peneliti Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati. ICJR mengkritisi pernyataan Mahfud dan menyebutnya sebagai contoh yang keliru. 

Maidina menilai, restorative justice harusnya hadir sejalan dengan penguatan hak korban dan menyelerasan pemulihan korban dengan mekanisme penyelesaian sengketa atau perkara yang menimbulkan pertanggungjawaban pelaku.

"RJ (restorative justice bukan soal membungkam hak korban untuk mendapatkan harmoni semu di masyarakat," tegas Maidina, Kamis, 18 Februari.

Dalam kasus perkosaan, restorative justice disebut Maidina bisa diterapkan. "Tetapi tetap yang menjadi titik sentral yang harus diperjuangkan adalah mendengarkan dan memberi ruang bagi korban untuk menyampaikan kerugiannya, membuat pelaku menyadari perbuatannya dan memahami dampak dari perbuatan yang dilakukannya," katanya.

Maidina menyebut pernyataan Mahfud yang menyebut pelaku dan korban dinikahkan demi menjaga harmoni dan nama baik keluarga juga jadi contoh buruk praktik yang tidak sejalan dengan konsep restorative justice.

"Pernyataan ini juga tidak berpihak pada upaya-upaya untuk memberikan penguatan pengaturan hak korban perkosaan ataupun kekerasan seksual," jelasnya.

Padahal, berdasarkan data survei Lentera Sintas Indonesia pada 2016 lalu terhadap 25.213 responden korban kekerasan seksual, ditemukan 93 persen korban perkosaan tidak melaporkan kasusnya karena ketakutan dengan narasi menyalahkan korban.

Survei lain dari IJRS dan Infid pada 2020 juga menujukkan bahwa 57,4 persen responden yang pernah mengalami kekerasan seksual menyatakan aparat penegak hukum tidak responsif terhadap kasus kekerasan seksual. Sehingga, pernyataan Mahfud sebagai otoritas dinilai tidak berpihak pada korban.

Karena itu, Maidina mendesak agar Menko Polhukam Mahfud MD meluruskan dan mengklarifikasi pernyataannya. 

"Serta memberikan jaminan bahwa penerapan RJ harus dipahami oleh seluruh jajaran pemerintah dan aparat penegak hukum untuk meletakkan kepentingan dan pemulihan korban sebagai fokus utama," pungkasnya.