JAKARTA - Penyelidikan perkara temuan radioaktif jenis Cesium 137 semakin menemukan titik terang. Senyawa berbahaya itu diketahui merupakan milik seseorang berinisial SM. Namun, berdasarkan hasil pemeriksaan, kepemilikan zat radioaktif lantaran menawarkan SM juga menawarkan jasa dekontaminasi secara ilegal.
Dekontaminasi merupakan kegiatan pembersihan paparan radiasi dari radioaktif di suatu wilayah. Namun, untuk melakukannya harus memiliki izin dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten).
Kabag Penum Div Humas Polri Kombes Asep Adi Saputra mengatakan, kegiatan pembersihan zat radioaktif yang dilakukan oleh SM, diduga telah berlangsung cukup lama dan melibatkan beberapa orang lainnya.
Indikasi SM sudah melakukan kegiatan pembersihan paparan radioaktif sejak lama, karena tingkat radiasi dari senyawa yang ditemukan di rumahnya itu telah menurun. Sebab, sifat radioaktif yang luruh seiring berjalannya waktu.
"Zat radioaktif itu sudah mulai menurun radiasinya. Kan sifat radioaktif itu luruh, maksudnya lama-lama berkurang radiasinya. Hal itu menandakan bahwa barang itu sudah lama di rumah," ucap Asep, Minggu, 1 Maret.
Untuk membuktikan itu semua, penyidik menggali keterangan dari SM. Yang jelas, tindakan itu diduga sudah melanggaran aturan, meski, status hukum dalam perkara masih sebagai saksi.
"Ini masih kita dalami, dia mungkin apakah bisnis sendiri atau mungkin kerjasama," ungkap Asep
Ketika ditemukan adanya pelanggaran pidana, maka penyidik akan menaikan status hukumnya sebagai tersangka dan menjeratnya dengan Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Ancaman hukuman maksimal bagi pelaku adalah dua tahun penjara dan denda Rp100 juta.
Sementara, terkait dengan kegitan dekontamonasi, peneliti Senior Badan Tenaga Nuklir Nasional, Profesor. Dr. Djarot S. Wisnubroto memiliki pandangan yang berbeda. Menurutnya, kegiatan pembersihan paparan radioaktif itu bisa dilakukan oleh organisasi mana pun. Asalkan, memiliki izin usaha dan dari Bapeten soal kompetensi.
"Tidak mestinya, organisasi mana saja yang dianggap kompeten boleh melakukan dekontaminasi," kata Djarot kepada VOI.
Dengan tak mengantongi izin dari Bapeten, maka kompetensi dalam membersihkan paparan radiasi yang dilakukam oleh SM patut dipertanyakan. Sebab, ada beberapa aspek tertentu yang harus dipenuhi jika akan melakukan pembersihan.
Dari sisi peralatan, keamanan, hingga sumber daya manusia, harus memenuhi standar dari Bapeten. Sehingga, tak sembarang orang dapat melakukannya.
"Secara umum sumber daya yang cukup, artinya SDM secara kuantitas dan kualitas memadai, mempunyai peralatan cukup," ungkap Djarot.
Menanggapai pernyataan-pernyatan tersebut, Humas Bapeten Abdul Qohhar menyebut, pengawasan kegitan dekontaminasi bukanlah tanggung jawab pihaknya. Berdasarkan undang-undang nomor 10 tahun 1997 tentang ketenaganulliran, semua tanggung jawab dipegang oleh pemegang izin.
"Kegiatan dekontaminasi menjadi tanggung jawab pemegang izin pemanfaatan, manakala dalam aktifitas mereka terjadi kontaminasi. Limbah-limbah yang dihasilkan dari proses dekontaminasi harus dikelola atau dikirim ke PTLR," tegas Qohhar.