JAKARTA - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto menegaskan sertifikat hak pengelolaan tanah ulayat masyarakat hukum adat merupakan bukti pengakuan negara terhadap nilai-nilai masyarakat itu sendiri.
"Artinya negara atau pemerintah mengakui hak masyarakat adat untuk melakukan pemanfaatan tanah," kata Hadi Tjahjanto di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat (Sumbar), Rabu 11 Oktober, disitat Antara.
Menteri Hadi menyebutkan terdapat dua variabel penting dalam sertifikat hak pengelolaan tanah ulayat.
Pertama, kata dia, untuk kepentingan masyarakat adat itu sendiri. Sedangkan yang kedua mengenai peluang kerja sama pengembangan bisnis dengan pihak lain.
Eks Panglima TNI tersebut menegaskan setelah masyarakat adat menerima sertifikat atas tanahnya, maka tidak akan terjadi lagi konflik atau pencaplokan tanah oleh pihak lain.
"Sertifikat itu merupakan sertifikat anticaplok dan anticekcok," ujarnya.
BACA JUGA:
Apalagi, kata dia, selama ini konflik agraria di Sumbar kerap terjadi di tataran internal kaum itu sendiri. Selain itu, dengan mengantongi sertifikat hak pengelolaan tanah ulayat, maka tidak akan ada lagi tumpang tindih hak guna usaha (HGU) dengan tanah adat yang kerap berujung pencaplokan tanah.
"Pemerintah melindungi dan menjamin masyarakat hak adat dan termasuk melindungi melestarikan tanah-tanah ulayat," ucapnya.
Sementara itu, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar Fauzi Bahar Datuak Nan Sati mengatakan, selain memberikan kepastian hukum, sertifikat hak pengelolaan tanah ulayat masyarakat hukum adat sekaligus untuk mencegah konflik anak kemenakan (suku).
"Agar anak dan kemenakan kita tidak berperkara di kemudian hari, mari pusako randah (pusaka rendah) apalagi pusako tinggi kita lindungi dengan disertifikatkan Kementerian ATR/BPN," kata Ketua LKAAM Sumbar Fauzi Bahar.