JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sedang menyusun teknis karantina bagi pasien tuberkulosis (TBC) guna memutus rantai penularan penyakit kepada orang sekitar.
"Merujuk hasil rapat terbatas pemerintah diusulkan ada karantina pasien TBC supaya memastikan orang yang akan minum obat minimal 2 pekan sampai dua bulan berjalan teratur," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi dilansir ANTARA, Kamis, 20 Juli.
Dia mengatakan, pemerintah menggagas penyediaan fasilitas yang representatif bagi pasien TBC aktif untuk menjamin asupan obat dan gizi seimbang dapat terpenuhi secara teratur.
Bentuk fasilitas karantina yang dipersiapkan merujuk pada Sanatorium TBC yang pernah beroperasi di Indonesia pada zaman Hindia Belanda.
"Nanti kita bikin fasilitas karantina, bisa berbentuk rumah sakit. Dulu ada yang namanya Sanatorium TBC, sifatnya wajib (karantina) selama enam bulan," katanya.
Kemenkes belum menentukan apakah fasilitas karantina yang nanti tersedia bagi pasien TBC bersifat wajib atau pilihan.
Yang pasti, kata Nadia, tujuan utama dari penyediaan fasilitas karantina adalah menjaga agar infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis penyebab TBC tidak menyebar kepada keluarga maupun orang terdekat pasien.
Menurut Nadia, orang yang hidup dengan TBC memerlukan asupan secara konsisten obat keras. Konsumsi obat berkala selama dua pekan hingga dua bulan dapat menjamin TBC yang diderita lebih terkendali.
Nadia menerangkan, penderita TBC umumnya dialami masyarakat pada level sosial ekonomi rendah, sehingga tidak jarang asupan gizi seimbang tidak terpenuhi karena keterbatasan finansial.
"Misalnya ada orang yang dua pekan atau dua bulan minum obat harus bolak balik jauh dari rumahnya, atau dia pekerja, tapi perusahaannya tidak memberi izin. Jadi kami fasilitasi karantinanya," katanya.
BACA JUGA:
Gambaran sederhana dari teknis karantina pasien TBC, kata Nadia, layaknya ketentuan bagi pasien COVID-19 yang berlaku saat pandemi.
"Sementara ini teknisnya baru kemarin, teknisnya masih disiapkan dulu apakah (karantina) wajib atau tidak," katanya.
Kemenkes melaporkan sebanyak lebih dari 700 ribu kasus TBC berhasil terdeteksi pada 2022. Angka tersebut merupakan yang tertinggi sejak TBC menjadi program prioritas nasional.
Penyakit TBC di Indonesia dilaporkan menempati peringkat kedua setelah India, yakni dengan jumlah kasus 969 ribu dan kematian 93 ribu per tahun atau setara dengan 11 kematian per jam.
Berdasarkan Global TB Report 2022, jumlah kasus TBC terbanyak di dunia pada kelompok usia produktif terutama pada usia 25 sampai 34 tahun. Di Indonesia jumlah kasus TBC terbanyak ada pada kelompok usia produktif, di rentang 45 sampai 54 tahun.