Bagikan:

JAKARTA - Kualitas kepemimpinan kepala daerah dapat menentukan kesejahteraan masyarakat. Maka dari itu, pengukuran Indeks Kepemimpinan Kepala Daerah (IKKD) yang digagas Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri (BSKDN) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bertujuan mengawal kinerja kepemimpinan kepala daerah.

Kepala Pusat Strategi Kebijakan Politik, Hukum, dan Pemerintahan Dalam Negeri BSKDN Kemendagri, Akbar Ali mengatakan, pengukuran IKKD juga dilaksanakan untuk memastikan ketersediaan data serta informasi yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah guna menjadi acuan dalam pengambilan kebijakan.

Pihaknya masih terus menyempurnakan variabel dan dimensi dalam pengukuran IKKD dengan menyesuaikan ulang pembobotan nilai, karena itu Workshop Pengukuran IKKD dilaksanakan di Jakarta (13/7) untuk menyempurnakan variabel hasil pengukuran IKKD yang sejalan dengan fakta di lapangan.

Dengan demikian, bukti kualitas kepemimpinan kepala daerah tidak hanya berasal dari dokumen administratif semata, tetapi kualitas kepemimpinannya betul-betul dirasakan oleh masyarakat.

"Kendati pengukuran IKKD dilakukan setiap tahun, namun penetapan kepala daerah terbaik dan pemberian penghargaan kepada yang bersangkutan baru akan dilakukan pada tahun 2025," katanya mengutip Antara.

Keputusan ini mempertimbangkan adanya sensitivitas yang cukup besar menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2024.

Sejalan dengan itu, Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Halilul Khairi saat menjadi narasumber workshop mengatakan data menjadi salah satu kunci penting kesuksesan pengukuran IKKD.

Untuk itu, menurutnya, data yang digunakan dalam pengukuran IKKD harus mencerminkan realitas yang sebenar-benarnya mengenai kepemimpinan kepala daerah yang diukur.

Khairi menambahkan penggunaan data yang tidak valid dapat menjadi kelemahan hasil pengukuran IKKD.

Bahkan, penggunaan data yang tidak teruji dapat berakibat fatal terhadap perkembangan daerah tersebut. Dia mencontohkan, berdasarkan dokumen tertulis suatu daerah mengalami penurunan angka kemiskinan menjadi 4 persen.

Namun, hal itu berbeda dengan fakta di lapangan yang menyatakan angka kemiskinan masih mencapai 17 persen.

"Salah menggunakan data maka kesimpulannya juga salah, misal data indeksnya sudah paling tinggi, tapi nyatanya tidak, ini kan akan mengganggu perkembangan suatu daerah," ujarnya.