Bagikan:

YOGYAKARTA – Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi Undang-Undang (UU) dalam rapat paripurna DPR, mendapat penolakan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan sejumlah organisasi profesi kesehatan Indonesia. Hal ini karena di dalam UU Kesehatan menghapus sejumlah poin krusial. Salah satunya adalah soal anggaran wajib minimal (mandatory spending) di bidang kesehatan. Lantas, apa itu mandatory spending?

Apa Itu Mandatory Spending?

Disadur dari laman resmi Kementerian Keuangan, mandatory spending merupakan pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang. Tujuannya untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah.

Jenis mandatory spending di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 tahun 2020 terbagi menjadi lima, antara lain:

  • Alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBD sesuai amanat UUD 1945 pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 ayat (1).
  • Alokasi anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari APBN atau setara dengan Rp 212,3 triliun yang mana ketentuannya sesuai dengan ketentuan UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
  • Alokasi anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) paling seedikit 26 persen dari penerimaan dalam negeri neto atau setara dengan Rp 384,4 triliun. Ketentuan ini sesuai dengan aturan dalam UU Nomor 33 tahun 2004.
  • Alokasi anggaran Dana Bagi Hasil (DBH) perhitungan alokasi anggaran ini di dalam APBN-Perpres 72/2020 sebesar Rp 86,4 triliun.
  • Alokasi anggaran untuk otonomi khusus masing-masing sebesar 2 persen untuk Provinsi Aceh dan Papua dari DAU sesuai dengan UU Otonomi Khusus. Alokasi anggaran yang ada di dalam Perpres 72/2020 adalah sebesar Rp 20 triliun.

Mandatory spending memberikan kepastian besaran jumlah dalam penganggaran beberapa belanja negara. Akan tetapi, terlalu banyak belanja negara yang bersifat mandatory mengakibatkan kapasitas APBN dan ruang fiskal menjadi sempit dan tidak fleksibel.

Bahaya Hilangnya Poin Mandatory Spending di UU Kesehatan

Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi melayangkan protes keras terkait hilangnya poin mandatory spending di dalam UU Kesehatan yang baru.

Menurut Adib, penghapusan pasal terkait anggaran wajib minimal di bidang kesehatan sebesar 5 persen membuat masyarakat tidak mendapatkan kepastian hukum dalam pembiayaan kesehatan.

“Masyarakat akan dihadapkan dengan upaya membangun kesehatan melalui sumber pendanaan di luar APBN dan APBD," kata Adib dalam keterangan video, dikutip VOI, Kamis, 13 Juli 2023.

Dia menambahkan, penghapusan pasal mandatory spending bukan tidak mungkin pendanaan kesehatan melalui pinjaman privatisasi, komersialisasi, maupun bisnis lainnya di bidang kesehatan, akan akan membawa sebuah konsekuensi tentang ketahanan kesehatan Bangsa Indonesia.

Demikian informasi tentang apa itu mandatory spending. Dapatkan update berita pilihan lainnya hanya di VOI.ID.