JAKARTA - Indonesia krisis pengajar Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK). Bahkan, 30 persen pengajar TIK di tanah air tidak memiliki latar belakang pendidikan informatika.
"Kualifikasi dari guru kita tidak sesuai, dikarenakan selama ini mengajarkan TIK itu backgroundnya (latar belakang) bukan dari informatika, atau teknik komputer," ungkap Direktur Pusat Kurikulum dan Pengarsipan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Awaluddin Tjalla saat acara Grow With Google di Jakarta Pusat, Selasa 18 Februari.
Lebih parahnya lagi, latar belakang dari guru TIK tersebut berasal dari pendidikan bahasa Indonesia dan Agama Islam.
"Iya banyak sekali missmatch (ketidakcocokan) dalam pengajaran ini, banyak sekali dari mereka yang mengajar bukan dari latar belakang pendidikannya. Saya kira ini harus menjadi perhatian dari sisi kualitas," lanjut Awaluddin.
BACA JUGA:
Awaluddin menambahkan, setelah dilakukan pembenahan, data terakhir menunjukkan hanya 1.000 guru TIK yang dinilai layak mengajar dan memenuhi kualifikasi juga sertifikasi informatika. Sementara, jumlah pelakar di Indonesia mencapai 50 juta dari tingkat SD hingga SMA.
Menurutnya, dalam struktur kurikulum pendidikan di Tanah Air ini, pelajaran informatika sebenarnya sudah didesain sejak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Namun, karena keterbatasan tenaga pengajar, TIK baru diajarkan pada tingkatan SMP dan SMA yang hanya sebatas menjadi pelajaran pilihan saja.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) turut andil dalam masalah ini. Mereka menyarankan setidaknya Indonesia memiliki sembilan juta tenaga kerja TIK, termasuk talenta digital untuk memajukan teknologi di negara ini, pada 2030. Masalah ini harus jadi perhatian Kemendikbud. Karena ini akan membuat Indonesia mengalami ketinggalan jauh dari negara maju lainnya.
Padahal, pengguna internet di Indonesia mencapai 171 juta pada 2019 lalu. Angka itu akan terus meningkat pada tahun selanjutnya.