Bagikan:

JAKARTA — Potensi besar dari kurban dapat digunakan untuk meningkatkan gizi dan kesehatan masyarakat, terutama kelompok termiskin. Namun, distribusi daging kurban  saat ini tidak merata, terdapat kesenjangan yang signifikan antara daerah metropolitan utama di Jawa dengan wilayah lainnya.

Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) telah mengidentifikasi daerah prioritas yang memerlukan intervensi gizi berupa protein hewani melalui kurban. Daerah-daerah ini memiliki konsumsi daging yang sangat rendah, bahkan mendekati nol, serta jumlah mustahik yang besar.

"Dalam daerah prioritas intervensi gizi melalui kurban, terdapat daerah luar Jawa yang umumnya tertinggal dan terisolir, seperti Kabupaten Majene, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Hulu Sungai Utara. Selain itu, beberapa daerah di Jawa seperti Kabupaten Ngawi dan Kabupaten Pandeglang juga termasuk dalam kategori ini," ungkap Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS.

Surplus Kurban

Berdasarkan simulasi IDEAS, daerah dengan potensi surplus kurban terbesar terletak di daerah metropolitan Jawa, seperti Jakarta (7.556 ton) dan wilayah Bandung Raya, termasuk Bandung, Cimahi, dan Kabupaten Sumedang (5.598 ton).

"Daerah lain dengan potensi surplus kurban yang besar termasuk Bekasi (3.820 ton), Bogor dan Depok (3.298 ton), Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul (2.924 ton), Kota Tangerang dan Tangerang Selatan (2.045 ton), Kota Semarang (1.763 ton), serta Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo (1.131 ton)," kata Yusuf.

Inilah peta daerah yang surplus dan minus dalam penyebaran daging kurban yang dibuat IDEAS. (IST)
Inilah peta daerah yang surplus dan minus dalam penyebaran daging kurban yang dibuat IDEAS. (IST)

Di sisi lain, daerah-daerah pedesaan di Jawa menjadi daerah dengan potensi defisit kurban terbesar. Contohnya adalah kawasan utara Jawa Tengah seperti Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Purbalingga, dan Pekalongan (-2.363 ton), serta kawasan utara Jawa Timur seperti Kabupaten Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan (-2.188 ton).

"Kemiskinan yang melanda Jawa menuntut identifikasi mustahik yang akurat bagi pengelola hewan kurban. Sementara itu, kemiskinan di daerah di luar Jawa membutuhkan akses yang kuat untuk mengatasi keterpencilan dan keterisoliran," kata Yusuf.

Salah satu tantangan dalam pengelolaan kurban di Indonesia adalah pelaksanaannya yang terdesentralisasi dengan ribuan panitia kurban lokal yang beroperasi di seluruh negeri, seperti masjid, musholla, pesantren, lembaga pendidikan, dan perusahaan.

Namun, distribusi kurban saat ini sangat tidak merata, mencerminkan kesenjangan pendapatan yang akut antar wilayah di Indonesia. Untuk memastikan intervensi daging bagi kelompok termiskin, diperlukan reformasi dalam distribusi kurban.

"Program penyebaran hewan kurban dari daerah surplus ke daerah dengan defisit daging kurban adalah langkah yang tepat dan penting untuk distribusi kurban yang efektif dan berdampak signifikan bagi kesejahteraan mereka yang membutuhkan," ujar Yusuf.

Contoh kasus dari program penyebaran hewan kurban yang dilakukan oleh LAZ Dompet Dhuafa (THK-DD) menunjukkan bahwa rekayasa sosial mampu meningkatkan manfaat kurban secara signifikan.

"Pada tahun 2023, dari ribuan titik distribusi program THK-DD di seluruh negeri, kami menemukan bahwa daerah distribusi umumnya adalah daerah dengan konsumsi daging yang sangat rendah, bahkan mendekati nol," tutur Yusuf.

Sebagai contoh di Jawa, daerah distribusi kurban program THK-DD mencakup Kabupaten Ngawi dengan rerata konsumsi daging 0,025 kg/kapita/tahun hingga Kabupaten Gunung Kidul (0,205 kg/kapita/tahun). Di luar Jawa, daerah distribusi program THK-DD mencakup Kabupaten Seram Bagian Barat dengan rerata konsumsi daging hanya 0,007 kg/kapita/tahun hingga Kabupaten Kubu Raya (0,203 kg/kapita/tahun).

"Oleh karena itu, program penyebaran hewan kurban memiliki dampak yang tepat sasaran dan efektif dalam meningkatkan konsumsi daging para mustahik," tutup Yusuf.