Pemkab Garut Siapkan Tim Pemulihan Trauma Korban Asusila Guru Mengaji
Perwakilan dari Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Garut, Jawa Barat saat jumpa pers kasus asusila guru ngaji di Garut, Jumat (2/6/2023). ANTARA

Bagikan:

GARUT - Pemerintah Kabupaten Garut, Jawa Barat sudah menyiapkan tim untuk melakukan proses pemulihan trauma yang menimpa anak-anak korban asusila seorang oknum guru ngaji rumahan agar korban kembali percaya diri dan menjalani hidupnya dengan normal.

"Trauma healing sudah kita lakukan untuk 44 peserta, baik orang tua dan anak korban, dan itu sebagai upaya terapi, itu untuk meningkatkan dari segala yang jadi beban anak-anak," kata Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DPPKBPPPA) Kabupaten Garut Yayan Waryana di Garut, Antara, Jumat, 2 Juni. 

Jajarannya bersama Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Anak dan Perempuan sudah mendapatkan laporan tersebut dan melakukan pengecekan, termasuk menemui keluarga korban maupun anak-anak yang menjadi korban asusila.

Langkah selanjutnya, kata dia, memberikan pelayanan untuk pemulihan trauma anak-anak maupun orang tuanya agar bisa kembali percaya diri dan bangkit untuk melanjutkan kehidupan yang lebih baik.

"Kami melakukan pendampingan psikologis untuk mengembalikan percaya diri mereka," katanya.

Selain melakukan pemulihan trauma, kata Yayan, pihaknya juga melakukan pendekatan dan pemahaman kepada kepala sekolah, guru, maupun pihak lainnya yang ada di lingkungan sekolah korban agar mau menerima mereka seperti biasanya.

Menurut dia lingkungan sekolah sebagai salah satu tempat aktivitas korban harus diperhatikan karena kemungkinan akan ada pandangan negatif, untuk itu perlu diedukasi orang di lingkungan sekolah agar kondisi korban cepat pulih dan beraktivitas seperti biasa.

"Kita akan melakukan pendekatan kepada kepala sekolah maupun guru-guru dan anak-anak siswa untuk menerima kembali mereka bersekolah, tidak mustahil lingkungan sekolah pun akan memberikan penilaian yang kurang baik bagi anak," katanya.

Ia mengatakan selain berupaya memulihkan kembali kondisi psikologisnya, tim dari DPPKBPPPA Garut juga melakukan pengecekan kondisi kesehatan seluruh anak yang diduga menjadi korban asusila guru ngajinya.

Untuk masalah kesehatan bekerja sama dengan Rumah Sakit Umum Daerah dr Slamet Garut seperti melakukan visum termasuk pengecekan darah, tes urine, dan sebagainya.

"Dilakukan tes urine, tes darah untuk memastikan anak tersebut tidak terinfeksi penyakit, penyakit menular," katanya.

Ia mengungkapkan alasan pemeriksaan kesehatan pada korban itu, karena dalam kasusnya telah terjadi penyimpangan seksual yaitu melakukannya terhadap sesama jenis.

Terkait hasil pemeriksaan kesehatan itu, kata dia, selanjutnya diserahkan ke kepolisian sebagai bukti untuk menunjang proses hukum terhadap tersangka yang saat ini sudah ditahan di Polres Garut.

"Insyaallah, saya kira tidak ada kelainan, kelainan yang memperlihatkan anak tersebut terinfeksi ya, dan mudah-mudahan," katanya.

Sebelumnya, Polres Garut menangkap seorang guru ngaji rumahan karena dilaporkan telah melakukan tindak pidana asusila yakni mencabuli muridnya di bawah umur yang diperkirakan berjumlah 17 orang di Kecamatan Samarang, Garut.

Kegiatan mengaji di rumah pelaku inisial AS (50) itu sudah dilakukan sejak 2022, kemudian perbuatan cabulnya terbongkar setelah ada anak yang menjadi korban melaporkan kepada orang tuanya.

Pengakuan tersangka modusnya hanya digesek-gesekan dan tidak sampai melakukan perbuatan yang lebih jauh, meski begitu polisi masih terus mendalaminya dengan melakukan visum terhadap korbannya.

Tersangka dalam aksinya juga melakukan ancaman akan melakukan kekerasan dan melarang belajar mengaji lagi jika tidak mau memenuhi keinginan hasratnya itu. Tersangka juga seringkali modusnya merayu dengan meminjam telepon seluler kepada korbannya.

Akibat perbuatannya itu, kini tersangka harus mendekam di Rumah Tahanan Polres Garut untuk menjalani proses hukum lebih lanjut dan dijerat Pasal 76 e juncto Pasal 82 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak anak dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara, ditambah sepertiga karena korban lebih dari satu.