JAKARTA - Lahir di kaki Pegunungan Himalaya dan tumbuh di Nepal yang dikelilingi oleh pegunungan serta melihat Gunung Everest di buku pelajaran maupun media lokal, Hari Budha Magar berpikir untuk mendakinya suatu hari nanti.
Sibuk menamatkan sekolahnya, dia kemudian meninggalkan negaranya untuk bergabung dengan unir Gurkha pada tentara Inggris di usia 19 tahun.
Dia melihat dan meluncur melalui pegunungan di seluruh dunia dalam misi dan perjalanannya. Namun, dia masih "memikirkan Everest sepanjang waktu," katanya dalam sebuah wawancara.
Keinginannya untuk mendaki atap dunia tersebut diperumit dengan ledakan di Afghanistan pada tahun 2010, menyebabkan kedua kaki Budha Magar harus diamputasi di atas lutut.
Tetapi setelah bertahun-tahun persiapan dan penundaan karena pandemi virus corona, serta aturan yang berusaha mencegah orang-orang dengan cacat fisik tertentu mendaki gunung.
Budha Magar membuat sejarah pada Hari Jumat dua pekan lalu, dengan menjadi orang yang diamputasi ganda di atas lutut pertama yang mencapai puncak setinggi 29.000 kaki.
"Kadang-kadang tidak terasa nyata, hal-hal yang saya gambarkan," kata Budha Magar (43), menceritakan perjalanannya dalam panggilan video dari tenda di base camp Everest, menyorot kamera untuk menunjukkan medan berbatu yang tertutup salju diselimuti kabut, seperti melansir The Washington Post 23 Mei.
Budha Magar adalah bagian dari tim beranggotakan 12 orang yang dipimpin oleh Krishna Thapa, veteran Gurkha lainnya. Mereka pernah dinas bersama di militer selama tiga tahun, sebelum kemudian bersatu kembali pada tahun 2016 saat Thapa merencanakan ekspedisi Everest.
"Bagaimana menurutmu? Saya tidak punya kaki," kenang Thapa saat Budha Magar bertanya kepadanya.
"Menurutmu apakah mungkin aku bisa mendaki Everest?" lanjut Budha Magar.
"Kita hanya bisa mencoba," jawab Thapa.
Budha Magar memulai latihan selama bertahun-tahun, saat dua sahabat ini membuat rencana yang cermat melakukan upaya bersejarah ini. Namun, sebuah rintangan muncul pada tahun 2017, ketika Pemerintah Nepal melarang tuna netra dan orang yang diamputasi untuk mendaki Everest, sebagai upaya untuk mengurangi angka kematian di gunung tersebut.
Aturan ini dikritik, karena dianggap merugikan penyandang disabilitas. Budha Magar serta para pendukung disabilitas melakukan lobi untuk menentang larangan tersebut.
Gayung pun bersambut, Mahkamah Agung Nepal membatalkan keputusan tersebut pada tahun 2018, membuka jalan bagi ekspedisi Budha Magar.
Setelah menyesuaikan diri dengan ketinggian dan lingkungan bersalju dan berangin di base camp, tim berniat untuk memulai perjalanan ke puncak pada 17 April, tepat 13 tahun setelah ledakan di Afghanistan yang merenggut kaki Budha Magar. Tetapi, cuaca yang buruk menunda mereka selama berminggu-minggu.
Kondisi tahun ini sangat sulit, kata Thapa. (Setidaknya 10 orang telah tewas di gunung itu pada tahun 2023, menurut laporan pihak otoritas).
Angin yang tidak dapat diprediksi - meskipun ada akses ke tiga alat prakiraan cuaca yang berbeda - dan kondisi seperti salju yang licin juga terbukti menantang.
"Salju sangat lembut dan saya tidak punya lutut untuk mengangkatnya," kata Budha Magar.
Budha Magar mengatakan, ada saat-saat ketika ia ingin menyerah. Sementara, Thapa mengatakan ada beberapa saat ketika ia berpikir bahwa mereka tidak akan bisa maju. Namun mereka tetap bertahan.
"Hari terus mengejutkan saya," ungkap Thapa.
Mereka mencapai puncak sekitar pukul 15:10 pada Hari Jumat, hanya menghabiskan beberapa menit di puncak karena kondisi yang sulit. Di puncak, Budha Magar mengatakan bahwa air matanya - air mata bahagia - membeku di pipinya.
Beberapa anggota tim harus mengambil lebih banyak oksigen saat turun, dan Budha Magar sangat kelelahan sehingga dia meluncur turun dengan posisi telentang. (Pakaian saljunya robek).
Budha Magar, yang tinggal di Canterbury, Inggris, mengatakan, putranya yang berusia 10 tahun sangat khawatir jika dia mencoba mendaki.
"Saya berjanji pada diri saya sendiri, 'Saya akan kembali untukmu. Saya tidak akan mati di atas sana,'" ungkapnya.
Diketahui, Pemerintah Nepal telah berjuang untuk mencegah kematian dan kepadatan di Everest. Kemacetan lalu lintas telah menjadi sangat parah, sehingga banyak orang meninggal karena ratusan petualang yang berambisi berbondong-bondong ke gunung tersebut.
Banyak orang Nepal percaya, para penyandang disabilitas adalah pendosa di kehidupan masa lalu mereka, kata Budha Magar.
"Saya ingin menunjukkan bahwa para penyandang disabilitas dapat memiliki kehidupan yang bahagia, sukses dan bermakna," tegasnya.
"Disabilitas kami mungkin merupakan kelemahan kami, tapi kami bisa melakukan banyak hal lain," pungkasnya.