JAKARTA - Kasubdit Bina Masyarakat Direktorat Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Kolonel Pas Sujatmiko mengatakan, sebanyak 45,45 persen narapidana terorisme atau napiter melakukan tindak pidana terorisme karena alasan ideologi.
"Berdasarkan hasil penelitian terhadap napiter di Indonesia, persentase paling tinggi mengapa napiter melakukan tindak pidana terorisme (proses radikalisasi) sebanyak 45,45 persen ialah karena alasan ideologi," ujar Sujatmiko dikutip dari Antara, Sabtu 8 April.
Pernyataan tersebut ia sampaikan ketika memaparkan empat poin penting tentang proses radikalisasi, bentuk radikalisasi, alasan terjadinya radikalisasi, dan indikator radikalisasi.
"Kita sering menyamakan ideologi itu dengan wahyu Ilahi, padahal wahyu Ilahi sangat agung, sangat tinggi, dan wahyu Ilahi tidak hanya mengenai Islam saja. Jangan sampai memiliki pemikiran yang berbeda, lalu merasa benar sendiri, dan menjadi eksklusif," ucapnya.
Lebih lanjut, terkait dengan proses radikalisasi, Sujatmiko menyampaikan proses radikalisasi di Indonesia sampai sekarang masih berjalan.
Ciri-ciri proses radikalisasi antara lain anti-ideologi negara atau Pancasila, anti-NKRI, anti-Bhinneka Tunggal Ika, dan anti-UUD 1945.
"Radikalisasi tersebut berbentuk intoleran, mengusung kekerasan, dan mengafirkan orang lain," tutur Sujatmiko ketika mengungkapkan bentuk radikalisasi.
Mengenai indikator proses radikalisasi, Sujatmiko merujuk pada ajaran agama yang distorsi dan pengetahuan agama yang dangkal.
BACA JUGA:
“"Radikalisasi yang selama ini terjadi ditandai dengan agama didistorsi dan dimanipulasi untuk kepentingan kelompok dan kepentingan politik. Tidak ada kejahatan yang luar biasa, selain mendistorsi dan memanipulasi agama yang menimbulkan kerusakan," ujarnya.
Ia menegaskan, bukan agama yang salah, melainkan orang yang mendistorsi atau memanipulasi agama.