Bagikan:

YOGYAKARTA – Tindak pidana korupsi di Indonesia dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena sifatnya yang sangat merusak serta berlangsung secara sistematis dan meluas. Oleh sebab itu, pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan cara yang luar biasa (extra ordinary enforcement). Salah satunya yakni dengan menerapkan pembuktian terbalik. Lantas, apa itu pembuktian terbalik?

Pembuktian Terbalik Adalah

Pembuktian terbalik adalah sistem pembuktian yang digunakan oleh negara-negara Anglo-Saxon dan bertujuan untuk mempermudah pembuktian yang dalam istilah mereka terbatas pada “certain cases” atau kasus-kasus tertentu atau khusus sifatnya.

Di Indonesia, sistem pembuktian terbalik berlaku untuk mengatasi kasus kejahatan luar biasa, seperti tindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik ini berlaku pada delik gratifikasi dan diakomodir dalam hukum positif di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikatakan pembuktian terbalik bersifat terbatas atau berimbang. Artinya, terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

Sistem pembuktian terbalik yang ada dalam pasal tersebut merupakan penyimpangan dari pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal ini menyebutkan, jaksa jaksa penuntut umum harus membuktikan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana.

Di sisi lain, pada Pasal 66 KUHAP, menegaskan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.

Dengan sistem pembuktian terbalik, terdakwa punya hak untuk membuktikan di persidangan bahwa gratifikasi yang diterimanya bukan bagian dari suap.

Selain itu, terdakwa juga berhak membuktikan bahwa harta kekayaan yang diduga mempunyai hubungan dengan perkaranya, bukan berasal dari korupsi.

Perlindungan bagi hak terdakwa ini bisa dikatakan merupakan jaminan keseimbangan karena, menurut pembuktian terbalik, terdakwa telah dianggap melakukan korupsi.

Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa pembuktian terbalik hanya bisa terjadi dalam proses pengadilan, bukan di tahapan penyidikan atau penuntutan.

Menurut Indiriyanto Seno Adji dalam Korupsi dan Hukum Pidana, jika pembuktian terbalik diwajibkan pada saat berstatus tersangka, dikhawatirkan pembuktian terbalik itu bisa menjadi bumerang bagi penegak penegak hukum pemberantasan korupsi itu sendiri. Dapat saja terjadi, pembuktian terbalik tersebut disalahgunakan oleh penyidik.

Penerapan pembuktian terbalik akan efektif bila aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, KPK, maupun hakim, benar-benar bersih, berwibawa, dan profesional.

Dengan adanya sistem pembuktian terbalik, seseorang akan takut melakukan korupsi, sebab sulit baginya untuk memberikan penjelasan yang memuaskan tentang sumber kekayaannya, kalau memang kekayaan itu diperolehnya secara tidak sah. Maka dengan adanya sistem pembuktian terbalik hampir tidak mungkin orang berani melakukan korupsi, sebab lari ke mana pun dia akan terus diburu.

Demikian informasi tentang sistem pembuktian terbalik untuk menangani tindak pidana korupsi. Untuk mendapatkan berita menarik lainnya, baca terus VOI.ID.