Sepekan di 2023 Ada 3 Kasus Kekerasan Anak di Sekolah Agama
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Sudah ada tiga kasus kekerasan selama tahun 2023, yang kini baru berjalan satu minggu, pada satuan pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama. Hal ini diungkapkan pemerhati anak, Retno Listyarti.

Kekerasan yang terjadi mulai dari kekerasan fisik bahkan juga kekerasan seksual. Semua lokasi kejadian di wilayah provinsi Jawa Timur.

Kasus pertama, kepala MTs swasta di Manyar, Gresik, berinisial AN memukul 15 siswinya hingga empat di antaranya pingsan. Para siswa yang pingsan diduga karena kelelahan setelah ditampar masih dihukum berdiri dengan satu kaki, padahal para siswi tersebut belum sempat sarapan.

Pemukulan itu dilakukan AN gara-gara 15 siswi tersebut jajan di luar sekolah, karena ada larangan tidak boleh membeli jajanan di luar kantin MTs, namun ke-15 siswi membeli makanan ke SMK di sebelah MTs yang kebetulan sedang proses pembagunan pagarnya.

“Hukuman fisik yang dilakukan kepala madrasah tersebut tidak mendidik dan sangat membahayakan keselamatan peserta didik” kata Retno kepada wartawan, Minggu, 8 Januari.

Para siswi yang mengalami kekerasan tersebut kemudian mengalami trauma dan tidak berani berangkat ke madrasah lagi. Pihak yayasan sekolah memang sudah memecat AN, namun beberapa wali murid tetap melaporkan AN kepada kepolisian per 5 Januari lalu.

Retno memandang wajar, sebab, kekerasan terhadap anak jelas melanggar pasal 54 yang menyatakan anak wajib dilindungi selama berada di lingkungan sekolah dan pasal 76C mengenai kekerasan terhadap anak dalam UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Kasus kedua, santri di Pasuruan, Jawa Timur berinisal INF (13 tahun) dibakar hidup-hidup oleh MHM, seniornya karena dituduh mencuri uang di kamar pondok pesantren hingga membuat seniornya marah.

INF mendapat luka bakar ditubuh dan punggungnya, pihak pesantren membawa INF ke RS Husada Pandaan, Pasuruan. MHM pun sudah diamankan pihak kepolisian. Namun, pihak pondok pesantren Pasuruan justru menyebut tak ada kesengajaan, dengan alasan awalnya hanya menakut-nakuti saja.

Kasus ketiga, seorang istri kiai di Kecamatan Ajung, Kabupaten Jember, Jawa Timur, melaporkan suaminya karena dugaan pencabulan dan pelecehan seksual terhadap santriwati yang masih di bawah umur.

Sang istri menceritakan bahwa dirinya mendapatkan pengaduan kalau Pak Kiai ini sering memasukkan santri bergantian kalau malam. Pelapor sebagai istri idak bisa masuk ke kamar Pak Kiai, akses masuknya menggunakan PIN hingga finger print.

Istri sang kiai tidak diberi akses nomor PIN untuk masuk ke kamar itu. Tapi santri-santri yang diduga pernah dimasukkan ke kamar suaminya ini tahu passsword-nya untuk bisa. Memang tembus ke santri-santrinya itu.

Istri Sang Kiai mengaku sudah mengantongi bukti-bukti dugaan perbuatan asusila sang suami. Namun, pihak kepolisan resor Jermber menyarankan kepada istri sang kiai agar para santriwati memberi kesaksian.

Rento memandang, ada dua unsur pidana yang bisa dijerat oleh pelaku. Jika terduga pelaku dijerat dengan pasal perselingkuhan, ancaman hukumannya cuma sembilan bulan. Karena ini santri-santri masih di bawah umur, lebih berat lagi ancaman hukuman Undang-Undang Perlindungan Anak, 15 tahun penjara.

“Padahal dalam UU Perlindungan Anak, bersetubuh dengan anak adalah tindak pidana, ini bukan delik aduan. Bersetubuh dengan anak tidak ada dalih suka sama suka dan atau dengan persetujuan. Jadi polisi seharusnya sudah bisa bertindak sesuai kewenangannya dalam peraturan perundangan”, ujar Komisioner KPAI periode 2017-2022 tersebut.

Dari ketiga kasus ini, Retno menilai ada indikasi mengindikasi bahwa sistem perlindungan dan pengawasan pada sekolah agama cukup lemah.

“Oleh karena itu, saya mendorong Kementerian Agama beserta stakeholder terkait di Pendidikan untuk melakukan evaluasi sistem pencegahan, pengaduan dan penanganan tindak kekerasan di satuan pendidikan demi perlindungan, kemanan dan kepentingan terbaik bagi anak-anak atau peserta didik,” tegasnya.